Rektor Undana Profesor Maxs Sanam Dikukuhkan Sebagai Guru Besar, Plt Sesditjen Dikti Akui Prestasi Undana Luar Biasa
Kupang – Seluruh civitas akademika Universitas Nusa Cendana (Undana) patut berbangga karena awal tahun 2023 ini, salah satu putra terbaik Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sekaligus Rektor Undana, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Mikrobiologi dan Parasitologi pada Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan (FKKH).
Pengukuhan orang nomor satu Undana itu dilakukan oleh Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D pada rapat senat terbuka luar biasa, yang dibuka secara resmi oleh Sekretaris Senat Undana, Prof. Dr. Jefri S. Bale, ST., M.Eng di Gedung Graha Undana, Rabu (8/3/2023) pagi.
Pengukuhan Prof. Maxs Sanam disaksikan jajaran senat Undana, unsur Forkompimda NTT, pimpinan Perguruan Tinggi di NTT, civitas akademika, beserta seluruh tamu undangan yang hadir.
Sesditjen Dikti Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D dalam sambutannya mengaku, pengukuhan tersebut baginya merupakan sebuah kehormatan, karena bisa mengukuhkan Rektor Undana sebagai Guru Besar.
Sesditjen Dikti mengakui bahwa pengukuhan tersebut menunjukkan prestasi Undana yang sangat luar biasa. Pasalnya, selain Rektor, pada awal tahun 2023 ini Undana akan menambah 9 orang Guru Besar lainnya.
“Universitas Nusa Cendana di awal tahun 2023 ini luar bisa sekali prestasinya, telah menghasilkan 10 orang dosen sebagai Guru Besar dengan jabatan akademik yang tertinggi,” ujar Prof. Tjitjik.
“Ini suatu kehormatan bagi saya, dapat mengukuhkan Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc, yang adalah Rektor Undana, sebagai pengukuhan pertama di tahun 2023, sekaligus ini adalah momen yang luar biasa karena Prof Maxs pada hari ini tepat ulang tahun yang ke-58,” sambungnya disambut tepuk tangan hadirin.
Dengan pengukuhan ini, Prof. Maxs menjadi Guru Besar aktif pertama pada FKKH Undana. “Luar biasa, ini artinya pecah telur untuk FKKH, sehingga Prof. Maxs sebagai guru besar pertama di FKKH, dan ini juga merupakan guru besar ke-40 di Undana,” ujarnya.
Sesditjen Dikti Prof. Tjitjik juga mengungkapkan bahwa Prof Maxs merupakan guru besar yang telah menunjukan perstasi dalam bidang keilmuannya dengan 7 dokumen publikasi terindeks Scopus, serta memiliki H Indeks dalam Scopus.
“Kami berharap pengukuhan Guru Besar ini ke depannya semakin bertambah sampai selanjutnya, terutama pada tahun ini, karena dengan terbitnya Permen PAN RB 1 tahun 2023 nanti, pastinya skema pengusulan dan penetapan Guru Besar akan ada perubahan,” imbuh Prof. Tjitjik.
Untuk itu, ia juga meminta Rektor Undana agar sebelum Juni 2023, mendorong seluruh Dosen Undana agar segera mengusulkan guru besarnya.
“Secara pribadi saya mengucapkan selamat kepada Prof Maxs Sanam atas capaian yang luar biasa ini sehingga menduduki jabatan tertinggi secara akademik dan juga kepada segenap keluarga, Ibu Sanam maupun putri-putrinya,” ungkapnya.
Prof. Tjitjik berharap agar pengukuhan tersebut dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi akademisi di Undana untuk mencapai jabatan Guru Besar.
“Saya berharap dengan bertambahnya Guru Besar Bidang Mikrobiologi dan Parasitologi ini akan memperkuat keilmuan yang ada di Undana, sehingga Undana bisa jadi pelopor dalam pengentasan atau penguatan ketahanan kesehatan maupun ketahanan pangan di wilayah Timur Indonesia,” sebutnya.
Sesditjen Dikti juga mengajak para Guru Besar dan rekan akademisi lainnya agar terus mengembangkan dan menyebarluaskan kebenaran ilmiah yang selanjutnya dapat dihilirkan baik dari aspek hilirisasi produk maupun kepakaran untuk mengatasi permasalahan dan meningkatkan kesejahteraan dan harkat kemanusiaan di Indonesia.
Lebih lanjut, ia berharap agar pengukuhan Prof. Maxs Sanam dapat memacu tradisi akademik di Undana ke arah yang lebih baik serta semakin memantapkan tekad untuk berkarya bagi Undana dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
“Selamat kepada Prof. Maxs M.Sc atas dikukuhkan sebagai guru besar, dan selamat ulang tahun. Ini adalah momen yang luar biasa,” tutupnya.
Wakil Gubernur NTT, Dr. Josef Nae Soi, MM dalam sambutannya menyampaikan selamat kepada Prof. Maxs yang telah dikukuhkan menjagi Guru Besar. “Atas nama pemerintah dan rakyat Nusa Tenggara Timur, saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Undana, karena telah menghasilkan putra terbaik dan memberikan pidato yang sangat luar biasa,” ujarnya.
Pihaknya juga menyebut, pemerintah NTT akan mendapat sebuah dasar yang paling baik untuk pengambilan keputusan, karena bagaimana pun Undana sudah memberikan hasil riset yang banyak bagi perkembangan kemajuan NTT.
Orasi Ilmiah
Sementara itu, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc pada kesempatan itu menyampaikan orasi ilmiah dengan judul “Peran Mikrobiologi Veteriner dalam Pencegahan, Penanganan, dan Pengendalian Penyakit Emerging pada Hewan di Indonesia.”
Ia mengungkapkan sejumlah penyebab penyakit emerging zoonotic penyebabnya seperti virus, bakteri atau parasit, menunjukkan, adanya beberapa penyakit viral emerging mulai dari Avian influenza, Chikunguya, Crimean-Congo haemorrhagis fever, Dengue, Ebola virus disease, Hantavirus, Hand, foot and mouth disease, Japanese encephalitis, Nipah virus, Novel human coronavirus, Rabies, Rift Valley fever, Viral hepatitis.
Di Indonesia, sebut Prof Maxs penyakit-penyakit viral emerging yakni Covid-19, African swine fever (ASF), Penyakit mulut dan kuku (PMK) dan Lumpy skin disease (LSD).
Oleh karena itu, menurutnya, strategi serta tindakan yang cepat dan tepat sangatlah penting untuk mengendalikan efek langsung dan tidak langsung penyakit: dari dampak merugikan yang nyata pada kesehatan hewan dan manusia dan implikasi ekonomi yang lebih luas dalam hal pendapatan yang hilang dan biaya sosial yang meningkat akibat wabah penyakit.
Ia mengemukakan bahwa wabah penyakit telah menyebabkan pemusnahan
ratusan juta hewan dan mengeluarkan biaya ratusan miliar dolar. “Virus
flu burung diperkirakan menyebabkan pemusnahan 200 juta ekor unggas di
Asia saja, kerugian lebih dari 10 miliar dolar AS,” ujarnya.
Di Indonesia, virus PMK yang kembali mewabah pada tahun 2022, kerugian ditaksir mencapai 9,9 triliun rupiah per tahun (Tempo.co, 2022). Virus African swine fever (ASF) yang menyerang ternak babi di tahun 2020 diperkirakan timbulkan kerugian 7,6 triliun rupiah (Agrofarm, 2019).
Menurut Prof. Maxs, dengan tren perkembangan manusia, globalisasi dan perubahan iklim saat ini meningkatkan kemungkinan wabah penyakit emerging dan re-emerging. Langkah-langkah pengawasan, pencegahan dan pengendalian ketat diperlukan untuk mencegah krisis di masa depan.
Lebih lanjut papar Prof. Maxs, mikrobiologi veteriner memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging pada hewan.
Beberapa peran tersebut diantaranya mikrobiologi veteriner dalam pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi emerging pada hewan, yang dipaparkan Prof. Maxs antara lain: (1) Identifikasi patogen penyebab penyakit, (2) Pengembangan vaksin, (3) Monitoring keamanan pangan, (4) Pengendalian dan Eradikasi penyakit, dan (5) Penelitian dan pengembangan.
Prof. Maxs mengemukakan bahwa dengan mengetahui patogen penyebab penyakit, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian yang tepat secara lebih dini. “Identifikasi mikroorganisme pathogen secara fenotipik, serologic dan genotipik atau molekuler dapat dilakukan dengan berbagai teknik pengujian. Metode pengujian ini didasarkan pada karakteristik fisik, biokimia, dan fisiologi dari mikroorganisme,” jelasnya.
Lebih lanjut, Prof. Maxs memaparkan bahwa kemajuan mikrobiologi veteriner telah memungkinkan pengembangan beragam vaksin yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi emerging pada hewan.
Beberapa vaksin telah terbukti efektif melawan penyakit menular pada hewan dan telah berhasil mengendalikan dan/atau bahkan mengeradikasi patogen-patogen hewan utama yakni smallpox dan rinderpest, antara lain vaksin inaktif (killed vaccine), vaksin hidup yang dilemahkan (attenuated vaccine), vaksin subunit, vaksin rekombinan dan Vaksin DNA.
Pada kesempatan itu, Rektor Undana itu juga menyampaikan tantangan dan strategi penanganan dan pengendalian penyakit hewan emerging di Indonesia. Menurutnya, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, termasuk ternak, dan hewan liar yang dapat menjadi reservoir penyakit. “Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian penyakit hewan di Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan hewan, serta untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan,” tandas Prof. Maxs.
Ia menyampaikan, mikrobiologi veteriner baik sebagai sains, sumber daya manusia (mikrobiolog dan dokter hewan), dan laboratorium veteriner menawarkan peran untuk diberdayakan dalam kepentingan pencegahan, penanganan, dan pengendalian penyakit.
Beberapa hal yang dapat dilakukan, menurut Prof. Maxs antara lain: Pertama, meningkatkan sistem surveilans. “Indonesia harus meningkatkan sistem surveilans penyakit hewan yang efektif dan komprehensif untuk mendeteksi dan merespons penyakit emerging secara tepat waktu dan efektif,” ujarnya. Langkah tersebut tentunya harus didukung dengan laboratorium veteriner beserta sarana penunjangnya yang memadai (peralatan, bahan diagnositik).
Ia menambahkan bahwa dalam rangka membangun sistem survailans yang cepat dan efektif, maka pemerintah perlu membangun laboratorium diagnostik veteriner baru di daerah-daerah kepulauan, daerah yang berbatasan dengan negara tetangga, dan daerah-daerah yang memiliki problem atau potensi penyakit hewan tinggi.
Menurutnya, sistem laboratorium veteriner rujukan yang ada saat ini dirasakan tidak cepat dan kurang efektif dalam mendeteksi penyakit dan berakibat pada penanganannya yang lambat. Sebagai contoh, Ketika terjadi indikasi kasus ASF di Kupang tahun 2020, spesimen organ harus dikirim ke Balai Veteriner Medan yang adalah laboratorium rujukan untuk penyakit AS.
“Begitu pula bila ada dugaan anthrax, specimen harus dikirim ke Laboratorium Balai Besar Veteriner Maros, Sulawesi Selatan atau pun ke Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor yang merupakan laboratorium rujukan bagi penyakit anthrax. Lamanya waktu pengiriman dari lapangan untuk tiba di laboratorium rujukan yang jauh akan mempengaruhi kualitas specimen dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasil diagnosis laboratorium,” beber Prof. Maxs.
Kedua, meningkatkan langkah-langkah biosekuriti di peternakan skala kecil dan besar dengan memperhatikan standar biosekuriti yang memadai, sehingga dapat meningkatkan keamanan peternakan dan mengurangi risiko penularan dan terjadinya wabah penyakit.
Ketiga, meningkatkan pendanaan dan sumber daya. Menurutnya, pemerintah harus meningkatkan pendanaan dan sumber daya yang dialokasikan untuk pencegahan, pengendalian, dan pengelolaan penyakit hewan, termasuk peningkatan dana dan sumber daya untuk sistem surveilans, biosekuriti, dan pembangunan kapasitas.
Keempat, Indonesia harus meningkatkan jumlah personil terlatih dalam surveilans, pencegahan, dan pengendalian penyakit hewan, sehingga dapat meningkatkan kapasitas pemerintah untuk merespons penyakit emerging.
Kelima, perlu kebijakan untuk menambah jumlah tenaga medik veteriner dan paramedik veteriner dengan membuka fakultas kedokteran hewan, dan sekolah menengah ataupun diploma vokasi bidang kesehatan hewan di daerah potensi munculnya penyakit hewan emerging, seperti di Kalimantan, Sumatera dan Papua.
Keenam, pelatihan dan sosialisasi tentang penyakit-penyakit
hewan emerging perlu diintensifkan dengan memberdayakan
institusi-institusi Pendidikan kedokteran hewan dan organisasi profesi. Ketujuh, Indonesia
harus meningkatkan koordinasi antara sektor dan lembaga yang
bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan, sehingga dapat meningkatkan
pendekatan yang terintegrasi dalam pengendalian penyakit hewan.
Kedelapan, dalam menghadapi ancaman wabah penyakit emerging
terutama yang bersifat zoonosis maka pendekatan “One health” harus
dikedepankan. Koordinasi lintas sektor atau lembaga terutama sektor
kesehatan hewan, kesehatan manusia, dan kesehatan lingkungan harus terus
didorong.
“Bahkan, lembaga lain, dan disipilin ilmu non medis pun
diperlukan dalam pendekatan one health ini untuk mengatasi barier-barier
politik, sosial budaya yang menghambat upaya-upaya pencegahan dan
penanganan penyakit emerging,” harap Prof. Maxs.
Kesembilan, Indonesia harus memperhatikan kepadatan populasi hewan dan mengatur pergerakan hewan secara ketat, sehingga dapat mengendalikan penyebaran penyakit emerging. Kesepuluh, Indonesia harus meningkatkan kesadaran publik tentang penyakit hewan, potensi dampaknya pada kesehatan manusia, dan pentingnya langkah-langkah pencegahan dan pengendalian.
Kesebelas, Indonesia harus meningkatkan regulasi tentang
kesehatan hewan untuk mencegah masuknya penyakit hewan dari luar negeri
dan juga untuk melindungi peternakan lokal.
Undang-undang praktik
kedokteran hewan, sebagaimana ada undang-undang tentang praktik
kedokteran, dan undang-undang arsitek. Penerapan Otoritas Veteriner (PP
Nomor 3 tahun 2017) harus dilakukan secara komprehensif dan konsisten
sesuai peraturan yang ada.
Keduabelas, Indonesia harus meningkatkan inovasi teknologi yang dapat membantu dalam deteksi dan pengendalian penyakit hewan. Indonesia harus memperkuat inovasi teknologi dalam pembuatan vaksin, reagen atau kit dan peralatan diagnosis penyakit, maupun obat-obatan.
“Ketergantungan kita terhadap produk-produk impor harus dikurangi secara signifikan karena disamping mengeluarkan devisa yang besar, penanganan dan pengendalian wabah penyakit emerging pun akan terhambat ketika bahan dan alat laboratorium tidak tersedia secara memadai di dalam negeri,” jelasnya.
Ketigabelas, meningkatkan akses terhadap vaksin dan obat-obatan: Indonesia harus memastikan akses terhadap vaksin dan obat-obatan untuk pengendalian penyakit hewan di seluruh wilayah Indonesia.
Kesimpulan
Dalam kesimpulannya, Prof. Maxs mengemukakan bahwa pengetahuan tentang mikrobiologi veteriner sangat penting dalam upaya pencegahan, penanganan, dan pengendalian penyakit emerging pada hewan di Indonesia. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan hewan, tetapi juga pada kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya peran aktif dari semua pihak terkait dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai pentingnya mikrobiologi veteriner.
Selain itu, pengembangan teknologi dan inovasi di bidang mikrobiologi veteriner juga sangat dibutuhkan untuk mengatasi kelemahan dalam penanganan penyakit emerging pada hewan di Indonesia. Dalam hal ini, kolaborasi antara institusi pendidikan, industri, dan pemerintah menjadi sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan teknologi dan inovasi.
Pada akhir orasinya Prof. Maxs menyampaikan syukur atas kemurahan Tuhan baginya hingga bisa mencapai gelar Profesor. Rektor Undana juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya mulai dari keluarga, rekan-dekan dosen, para guru/dosen baik dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi, jajaran Kemendikbudristek serta seluruh civitas akademika Undana. (rfl)