PKSPL IPB University Berikan Penjelasan Kondisi Nelayan Pasca Moratorium Lobster
Gonjang ganjing kebijakan lobster yang “poco-poco” pada era tiga menteri menimbulkan ketidakpastian usaha di tingkat masyarakat. Berdasarkan data informasi yang dihimpun Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University, terjadi gejolak ekonomi dan sosial dari kebijakan kementerian terkait dalam beberapa waktu terakhir. Data informasi ini dihimpun berdasarkan survei yang dilakukan di beberapa lokasi penghasil lobster termasuk benih bening lobster (BBL) di Jawa Barat pada tanggal 9-10 April 2021. Tidak hanya itu, kebijakan moratorium ekspor BBL telah memicu terjadinya distorsi implementasi di tingkat nelayan penangkap lobster ukuran konsumsi.
“Tidak jelasnya arahan implementasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait moratorium ekspor BBL memberikan dampak negatif terhadap praktik penangkapan lobster ukuran konsumsi oleh nelayan penangkap, penampung, dan penyalur distribusi. Padahal dalam rancangan kerja teknis KKP sudah dicanangkan bahwa lobster sebagai salah satu komoditas unggulan ekonomi perikanan,” ujar Dr Yonvitner, Kepala PKSPL IPB University.
Arahan Menteri KKP terkait moratorium ekspor BBL, lanjut Yonvitner, jelas hanya diberlakukan untuk aktivitas penangkapan BBL dengan tujuan ekspor. Bukan aktivitas penangkapan lobster ukuran konsumsi. Namun, fakta di lapangan dan praktiknya berbeda, dimana nelayan yang melakukan penangkapan lobster ukuran konsumsi juga diangggap sebagai bentuk pelanggaran yang harus ditindak atas nama hukum.
Akibatnya, kata Yonvitner, nelayan penangkap lobster ukuran konsumsi kehilangan aktivitas mata pencaharian utama mereka. “Nelayan tidak berani melakukan altivitas penangkapan lobster ukuran konsumsi karena jika mereka menangkap itu merupakan bentuk pelanggaran yang harus ditindak secara hukum,” tambah Yonvitner.
Lebih lanjut dirinya mengaku, fasilitas penampungan berupa keramba jaring apung dan jaring penangkapan lobster ukuran konsumsi tidak dapat digunakan, bahkan ada yang dibakar. “Ini merupakan bentuk distorsi kebijakan dimana implementasi kebijakan di tingkat bawah tidak sesuai dengan tujuan dikeluarkannya,” jelasnya.
Yonvitner menyampaikan bahwa implementasi kebijakan harus dikoordinasikan dengan penegak hukum di masing-masing lokasi sentra penghasil lobster agar tidak menimbulkan kesalahan implementasi. Akibatnya ekonomi masyarakat khususnya nelayan penangkap lobster menjadi tidak menentu.
“Kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP terkait moratorium ekspor BBL sebaiknya dilengkapi instrumen yang jelas arahnya, diperuntukan untuk apa serta informasi tersebut dapat dengan mudah diakses secara langsung oleh nelayan penangkap lobster di sentra penghasil lobster,” jelas Irzal Effendi Kepala Science Technopark PKSPL LPPM IPB University.
Sehingga, lanjutnya, mereka secara langsung dapat mengambil sikap ketika terjadi distorsi kebijakan moratorium ekspor BBL di lapangan. Maka dari itu pemerintah perlu hadir untuk membela kepentingan masyarakat nelayan, bukan hanya memberikan angin surga semata.
Distorsi kebijakan moratorium ekspor BBL secara langsung telah menghentikan aktivitas ekonomi nelayan penangkap lobster ukuran konsumsi di Ujung Genteng Sukabumi. Di sisi lain, substansi kebijakan tersebut belum mampu menghentikan praktek-praktek ekspor illegal BBL ke luar negeri hingga saat ini.
Distorsi kebijakan moratorium lobster ini menjadi catatan penting PKSPL IPB University untuk membantu pemerintah dalam mendorong usaha lobster yang berdaya saing sehingga pemerintah dapat memcapai target yang diharapkan. Pengumpulan data yang dilakukan Tim PKSPL LPPM IPB University ini dipimpin langsung oleh Kepala PKSPL Dr. Yonvitner, Kepala Science Technopark PKSPL, Dr Irzal Effendi dan Direktur SUA Sea Farming PKSPL, Muhammad Qustam Sahibuddin akan menjadi bahan analisis untuk merumuskan dukungan riset dan kebijakan pada program pemerintah. (MQS)