PBB dan SDGs Center Unpad Rilis Studi Kondisi Kesetaraan Sosial di Indonesia
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama Pusat Unggulan SDGs Center Universitas Padjadjaran, merilis studi berjudul “Leave No One Behind in Indonesia A Data-Driven Study” dalam sebuah seminar yang diadakan di Hotel Mercure Sabang, Jakarta, Kamis (7/12/2023).
Dalam laman yang merilis studi ini dijelaskan bahwa, studi ini didasarkan atas adanya komitmen negara-negara anggota PBB yang secara bulat mengadopsi agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) global. Agenda baru ini menempatkan imperative “leave no one behind” atau LNOB dan “reach the furthest behind first”.
United Nations Resident Coordinator for Indonesia Valerie Julliand dalam kata pengantar laporan studi menyatakan bahwa Agenda 2030 dan janji LNOB-nya pada dasarnya berakar pada komitmen jangka panjang Negara-negara Anggota terhadap hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi.
Prof. Arief Anshory Yusuf, Pakar dari SDGs Center Unpad yang menjadi principal investigator dalam studi ini, menyampaikan, di Indonesia, PBB membangun harapan di atas untuk memenuhi janji tersebut dan mencoba mencapai pada mereka yang paling tertinggal di Indonesia.
Karena itu, PBB melakukan studi komprehensif pertama kalinya dengan judul “Leave No One Behind in Indonesia: Studi Berbasis Data Mengidentifikasi Ketidaksetaraan dan Diskriminasi yang Dihadapi oleh Mereka yang Paling Tertinggal.”
“Studi ini menyoroti berbagai kelompok yang terpinggirkan dan rentan di beberapa dimensi pembangunan, menunjukkan siapa saja yang merupakan populasi yang tertinggal dan mengapa,” lanjut Prof. Arief.
Studi ini dilakukan oleh tim SDGs Center Unpad bekerjasa sama dengan tim dari PBB di Indonesia. Seperti yang disampaikan, Prof. Arief, studi ini menemukan bahwa lansia dan penyandang disabilitas, terutama di daerah perdesaan adalah kelompok yang paling tertinggal di Indonesia dalam banyak aspek SDGs, seperti tingkat pendidikan yang rendah, akses terhadap teknologi, dan tidak memiliki akses terhadap institusi finansial. Perempuan lansia juga termasuk kelompok yang terpinggirkan.
Lebih jauh Prof. Arief mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. Pertama, untuk kelompok terpinggirkan, terutama yang diidentifikasi dalama analisis kualitatif laporan ini, perlu diwakili dengan lebih baik dalam statistik nasional.
Kedua, tingkatkan perlindungan sosial dengan memberikan perhatian lebih pada kelompok yang diidentifikasi sebagai yang paling tertinggal, terutama lansia, penyandang disabilitas, serta lansia perempuan di wilayah perdesaan.
Rekomendasi selanjutnya, menyempurnakan berbagai undang-undang yang bertujuan melindungi kelompok yang paling terpinggirkan, memastikan penyandang memiliki asuransi kesehatan dan tidak ditolak akses ke perawatan medis saat mereka membutuhkannya, memperbaiki kurikulum sekolah untuk mengurangi sikap negatif terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
“Terakhir, pembangunan ekonomi harus lebih seimbang secara regional, misalnya dengan pengembangan IT dan energi terbaharukan di pedesaan,” kata Prof. Arief.
Pada seminar tersebut, Valerie Julliand menyampaikan, studi di Indonesia ini bertujuan mengisi kesenjangan dalam pemahaman tentang kemiskinan dan kerentanan yang persisten di Indonesia—untuk memahami akar penyebab mengapa begitu banyak orang yang ditinggalkan meskipun pertumbuhan ekonomi yang mengesankan di negara ini selama beberapa dekade terakhir.
Ia menyatakan, tanpa hak asasi manusia untuk semua, tidak ada pembangunan yang nyata. Dorongan untuk dunia yang lebih adil dan berkelanjutan – tanpa meninggalkan siapa pun – adalah prinsip utama dari Agenda 2030 Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Komitmen global untuk tidak meninggalkan siapa pun bukan hanya merupakan imperatif moral tetapi juga pendekatan pragmatis untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, terutama dalam menghapus kemiskinan,” tegasnya.*