Menteri Perdagangan Republik Indonesia Paparkan Strategi Perdagangan Indonesia di Era Pandemi Covid-19
Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (MM FEB) Universitas Indonesia (UI) menggelar kegiatan seminar virtual bertajuk “Strategi Perdagangan Internasional dan Upaya Indonesia Meningkatkan Perannya di Global Value Chain” dengan menghadirkan narasumber utama Muhammad Lutfi (Menteri Perdagangan Republik Indonesia/Mendag RI). Kuliah umum melalui zoom yang dilakukan pada Senin (26/4) tersebut dihadiri virtual oleh Rektor UI Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D dan Prof. Rofikoh Rokhim, S.E., S.I.P., D.E.A., Ph.D (Ketua Program Studi Magister Manajemen), serta lebih dari 300 peserta –mahasiswa Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI dan masyarakat umum yang tertarik.
Dalam pemaparannya, Lutfi banyak menampilkan perbandingan neraca perdagangan Indonesia sebelum dan setelah pandemi Covid-19. Salah satu catatan terpenting yang ia paparkan adalah tentang menurunnya sektor konsumsi kita di bidang industri otomotif sepanjang tahun 2020. “Penjualan mobil kita menurun lebih dari 48% per tahun, sedangkan penjualan sepeda motor menurun sampai 43% per tahun. Hal ini berdampak besar, karena penggerak utama perekonomian kita itu konsumsi. Jika industrinya turun, maka gangguan penyerapan tenaga kerja akan terjadi, dan ini akan menyebabkan penurunan tingkat konsumsi yang berpengaruh terhadap Gross Domestic Product (GDP) kita,” ujarnya.
Guna meningkatkan konsumsi, maka pemerintah di kuartal pertama tahun 2021 mengeluarkan kebijakan insentif berupa pemotongan pajak barang mewah untuk mobil 1500 cc ke bawah, dan insentif berupa pemotongan pajak bagi industri properti dengan modal di bawah dua milyar. Menurutnya, kalau sampai konsumsi berhenti, maka dengan mudah industri supply chain di Indonesia akan memindahkan pabrik mereka ke negara-negara lain di Asia Tenggara dan ini akan mempunyai dampak yang buruk bagi perekonomian.
Namun, pandemi juga menyebabkan dampak positif, yaitu angka espor non-migas yang membukukan kenaikan sebesar 14,7 milyar dolar. “Ini menunjukkan bahwa negara kita sedang berevolusi dari negara penjual barang mentah dan barang setengah jadi menjadi negara yang memproduksi barang industri dan barang industri berteknologi tinggi,” ujarnya. Indonesia memiliki tiga produk yang menjadi unggulan non-migas, yaitu produk besi dan baja (iron and steel), vehicle and parts, dan produk perhiasan (precious stone).
Keberhasilan sektor non-migas ini tidak lepas dari kerja sama hilirisasi produk nikel dengan Cina. Menurutnya, melalui kerja sama dengan Cina, maka Indonesia saat ini adalah penghasil produk stainless steel terbesar kedua di dunia, dan salah satu yang termurah. Selain dengan Cina, 10 negara kerja sama ekspor terbesar yang lain adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, India, Belanda, Jerman, Swizerland, Italia, dan Spanyol.
Kementerian Perdagangan juga saat ini telah banyak membuat perjanjian perdagangan khusus dengan negara-negara lainnya, diantaranya European Chapter dan Turki Chapter. “Kita di era kolaborasi ini harus mempunyai modalitas yang baru, yaitu membuka pasar. Ketika kita membuka pasar, maka akan datang investasi, investasi itu akan menghasilkan industrialisasi yang nantinya akan menghasilkan pilar industri ekspor kedepannya, seperti yang telah kita lakukan dengan Cina terkait industri pengolahan nikel,” katanya.
Kolaborasi ini juga penting untuk ekonomi Indonesia di masa depan dalam menghadapi yang dinamakan super cycle economy. Sebuah fenomena terjadinya kenaikan harga komoditas-komoditas tertentu dalam jangka panjang. Dalam kaitannya dengan konteks pascapandemi, maka perkiraan harga komoditas yang akan naik adalah harga nikel, kelapa sawit, dan batu bara, dimana Indonesia adalah salah satu penghasil terbesar komoditas-komoditas tersebut di dunia. Untuk itu, hilirisasi industri wajib dilakukan, dan ini bisa dilakukan dengan cepat dengan cara membuka keran-keran kolaborasi industri dengan negara lain.