close

Kandidat Doktor UI Teliti Model Spasial Determinan Kasus Demam Berdarah Dengue di Sumatera Barat Tahun 2015-2017

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan promovendus atas nama Efriza, dan menetapkannya sebagai doktor ke-229 di program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat jenjang doktoral. Efriza menyampaikan disertasi berjudul “Model Spasial Determinan Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2015-2017.”

Sidang promosi doktor ini dipimpin oleh Pj. Dekan FKM UI, Prof. Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, M.Sc., dengan Promotor Prof. dr. Meiwita P. Budiharsana, MPA, Ph.D., dan Ko-promotor Dr. drs. Tris Eryando, M.A. Ketua penguji dan tim penguji dalam sidang tersebut adalah Prof. Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, MS; Dr. dra. Dewi Susanna, M.Kes.; Dr. Martya Rahmaniati, S.Si, M.Si; Dr. Nana Mulyana, SKM, M.Kes dan Dr. dr. Harimat Hendarwan, M.Kes. Efriza melaksanakan sidang terbuka secara daring.

Efriza memaparkan bahwa sampai saat ini kasus DBD masih terjadi di Provinsi Sumatera Barat walaupun berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan telah dilakukan. Pada tahun 2017, Provinsi Sumatera Barat termasuk salah satu diantara 3 provinsi di Indonesia setelah Provinsi Bali dan Provinsi Kalimantan Barat yang tidak memenuhi target persentase kabupaten/kota dengan IR DBD ?49 per 100.000 penduduk yaitu 47,37% kabupaten/kota.

Baca Juga :  Unpad Kukuhkan Dua Guru Besar Baru

Pada tahun 2015-2017, sebanyak 95% kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat merupakan kabupaten kota yang endemis DBD (Kementerian Kesehatan RI; Profil Kesehatan Indonesia 2018). Angka kesakitan atau incidence rate DBD per 100.000 penduduk Provinsi Sumatera Barat termasuk tiga tertinggi di Pulau Sumatera pada tahun 2015-2017. Sampai akhir tahun 2019 angka kesakitan DBD di Provinsi Sumatera Barat terjadi peningkatan sebesar 9% (38,13 per 100.000 penduduk tahun 2010 menjadi 41,59 per 100.000 penduduk tahun 2019).

Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD, Pemerintah harus mempertimbangkan prinsip dasar keterkaitan antar pengamatan baik ruang dan waktu karena transmisi penyakit DBD secara epidemiologis terkait erat dengan konsep spasial. Promovendus memperlihatkan sebaran kasus DBD serta menentukan daerah hot spot dan low spot kasus DBD dan determinan kasus demam berdarah secara spesifik di masing-masing kecamatan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2015-2017 menggunakan Geographically Weighted Generalized Poisson Regression (GWGPR).

Baca Juga :  "I-Trolley", desain inovativ menyambut new normal

Hasil penelitian Efriza memperlihatkan model GWGPR determinan kasus DBD yang spesifik di setiap kecamatan yang dapat dijadikan rujukan oleh Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dalam menyusun strategi dan melakukan intervensi yang spesifik di setiap kecamatan. Tindakan intervensi menjadi efektif dan efisien karena tidak perlu intervensi yang sama untuk semua kecamatan. Intervensi didasarkan pada sembilan variabel determinan kasus DBD yang berbeda secara spesifik untuk setiap kecamatan yaitu perilaku berperilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), persentase rumah sehat, sarana air bersih dan jamban sehat, penyelidikan epidemiologi, kepadatan penduduk, curah hujan, kelembaban relatif, dan suhu.

Model GWGPR ini dapat dilakukan pada tahun-tahun berikutnya di Provinsi Sumatera Barat untuk evaluasi program, dengan memperhatikan kelengkapan data di setiap kecamatan. Ia juga dapat direplikasi di provinsi lain di Indonesia dengan melakukan penyesuaian pada variabel yang digunakan dan koordinat lokasi yang diteliti.