UGM dan MIT Dorong Produk Riset Sampai ke Tangan Masyarakat
Universitas Gadjah Mada menjalin kerja sama dengan Massachusetts Institute of Technology, Regional Entrepreneurship Acceleration Program (MIT-REAP) dalam kerangka mendorong hilirisasi riset teknologi mendalam. Kerja sama tersebut menggandeng 17 mitra perusahaan di tanah air dalam mendorong hilirisasi riset inovasi ke dunia industri dan memberi manfaat langsung ke masyarakat. Beberapa riset inovasi tersebut meliputi pengembangan energi hidrogen sebagai sumber energi terbarukan, pengembangan energi laut, pemanfaatan AI untuk kehidupan sehari-hari, pengembangan alat dan teknologi kesehatan, serta green manufacture.
Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Prof. Dr. Eng. Ir. Deendarlianto, S.T., M.Eng., mengatakan kolaborasi dengan universitas terbaik di dunia ini menjadi peluang besar bagi UGM untuk meningkatkan kualitas riset di bidang perkembangan teknologi, khususnya AI, energi terbarukan, dan teknologi kesehatan.“ Jadi kita mengkaji teknologi masa depan berbasis strong R&D program. Bekerja sama dengan seluruh stakeholder termasuk industri. UGM diundang oleh 17 industri untuk kolaborasi,” tutur Deendarlianto, Rabu (28/5). Champion MIT-REAP Indonesia, Prof. Nizam, menekankan pentingnya riset teknologi mendalam (deep tech) untuk kemajuan pembangunan di Indonesia untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan lestari-berkelanjutan. Syarat utama terwujudnya riset mendalam yang berdampak adalah gotong-royong sinergi antara kampus dan dunia industri dalam pengembangan teknologi untuk industri.
Program MIT-REAP, Kata Deen, menekankan deep tech, yang adalah isu-isu teknologi kini dan masa depan, seperti Artificial Intelligence (AI) untuk kehidupan sehari-hari, green manufacturer sampai pemanfaatan potensi alam sebagai energi terbarukan. Hasil riset utamanya akan menjadi akar utama untuk melahirkan start-up yang akan mendukung kemajuan industri dan masyarakat di Indonesia. “Kita bertekad membangun roadmap yang terintegrasi antara UGM dengan industri. Jadi ini merupakan kesempatan penting,” papar Deendarlianto.
Menurutnya, potensi pasar dari berbagai produk hasil riset sebetulnya cukup besar. Namun perguruan tinggi perlu menggandeng industri untuk membantu menciptakan pasar, memproduksi, dan menyalurkannya ke konsumen. Hal ini dinilai penting karena tanpa adanya pengembangan lebih lanjut dari sektor industri, riset-riset akademik belum bisa memberikan kontribusi apapun terhadap permasalahan di masyarakat.
Salah satu contoh riset yang akan digarap dalam program ini adalah riset penggunaan aluminium (Al) sebagai komponen pembangkit listrik. Efektivitas dan efisiensi dari sistem otomasi AI dapat diupayakan sebagai sistem kontrol atas pembangkit listrik, sehingga nantinya potensi blackout (mati listrik) akan lebih minim. Penelitian lainnya yang juga menarik adalah metal fuel, sebuah inovasi energi baru terbarukan dengan mengubah sumber daya metal menjadi bahan bakar. Produk hasil riset pada dasarnya dibuat untuk menghadapi masalah-masalah yang muncul saat ini dan akan terus berlanjut hingga masa depan.
Ditanya soal tantangan hilirisasi riset perguruan tinggi, Deendarlianto mengungkap hal yang paling penting adalah komitmen dari pihak-pihak yang berkolaborasi. Membawa hasil riset menjadi produk tepat guna hingga ke pasar tentunya bukan perkara mudah. Apalagi jika produk yang dihasilkan betul-betul baru dan belum pernah ada sebelumnya. Diperlukan komitmen dan kesabaran untuk menciptakan pasar secara perlahan dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. “Kita berharap ini ada kolaborasi bersama, tidak hanya dari UGM kami belajar tapi juga dengan MIT kami develop bersama. Dukungan industri juga akan sangat membantu untuk menjaga agar produk riset tidak mati tapi masuk ke hilirisasi,” jelasnya.
Untuk menindaklanjuti inisiasi langkah kerja sama dengan industri ini, UGM sudah mengadakan simposium dan workshop di Fakultas Teknik di Gedung Engineering Research Innovation Center ERIC, UGM dengan menggandeng 17 mitra industri. Ketujuh Belas mitra industri tersebut diantaranya Swayasa Prakarsa, Senzo FeinMetal, Global Meditek Utaa, VIAR, dan Wijaya Karya Energi. Dalam waktu dekat, kata Deen, pihak UGM akan berkunjung ke MIT melalui program MIT REAP dalam mendukung kerja sama riset yang mengedepankan teknologi sebagai basis utama. “Kita berharap program ini dapat membantu proses pengembangan riset hingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri,” pungkasnya.
Project Manager MIT REAP di Indonesia, Marina Kusumawardhani, menyatakan bahwa mereka menyambut baik kolaborasi riset-industri yang sudah diinisiasi oleh Fakultas Teknik UGM ini dengan sangat mengesankan. “Walau harapannya, ke depannya proses tersebut bisa dibakukan di dalam UGM, dan juga di dalam MIT [untuk kolaborasi riset dengan universitas di Indonesia]. Sehingga tidak hanya 17 tetapi ratusan industri dan riset ke depannya.” Selain kolaborasi riset, MIT REAP juga berharap dapat membawa manfaat lain untuk UGM dan universitas lain di Indonesia, “Seperti akses ke industri luar negeri, dan juga akses investasi dari luar negeri.”
MIT REAP (Regional Entrepreneurship Acceleration Program) sendiri adalah inisiatif MIT Sloan School of Management yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekosistem inovasi dan kewirausahaan di seluruh dunia. “Dalam framework MIT REAP, diharapkan ada kolaborasi di antara kelima stakeholder ekosistem inovasi: akademisi, industri, pemerintah, investor, dan wirausahawan,” ujar Prof. Nizam, Guru Besar UGM dan juga Champion MIT REAP di Indonesia.