Angkat Problematika Manusia dan AI, Rektor ISI Yogyakarta Unjuk Karya di Rome International Art Fair 2025
Seniman dari berbagai negara berkumpul di Roma dalam ajang ROME INTERNATIONAL ART FAIR 2025 edisi ke-14. Diselenggarakan oleh platform seni internasional ITSLIQUID Group, pameran ini menampilkan berbagai karya fotografi, lukisan, instalasi, video art, dan seni pertunjukan dari lebih dari 35 seniman internasional yang berasal dari 22 negara. (Australia, Belgia, Brasil, China, Finlandia, Prancis, Jerman, Georgia, Indonesia, Israel, Italia, Jepang, Lebanon, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Rumania, Spanyol, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Lithuania, Belanda).
Berlokasi di jantung kota Roma, Italia, tepatnya di Medina Art Gallery, sebuah pameran seni internasional menghadirkan eksplorasi mendalam mengenai identitas manusia dan perubahan lanskap di era kontemporer. Pameran ini mengusung dua tema utama, Mixing Identities dan Future Landscapes, yang menjadi sorotan utama dalam edisi ke-14 acara tersebut.
Mixing Identities menyelami kompleksitas kesadaran dan sisi-sisi tersembunyi dari identitas manusia. Lewat pendekatan imersif, karya-karya yang ditampilkan menempatkan tubuh sebagai medium yang terus berubah, sarat makna, dan menjadi alat komunikasi dengan berbagai ekspresi tanpa batas.
Sementara itu, Future Landscapes menyoroti pergeseran batas antara tubuh, pikiran, dan ruang urban. Tema ini menghadirkan gagasan tentang lanskap yang bersifat konseptual dan tak terbatas—lebih sebagai hasil olah pikir daripada bentuk fisik, mencerminkan bagaimana kota dan identitas berkembang dalam lanskap masa depan.
Lebih dari sekadar pameran visual, acara ini juga menjadi ruang dialog antara seni dan kehidupan, mengajak pengunjung merenungkan kembali peran ruang dan identitas dalam membentuk pengalaman manusia modern. Deretan karya dari seniman internasional memperkaya narasi pameran dengan ragam perspektif yang unik dan segar.
Salah satu peserta pameran ini adalah Irwandi, seniman foto asal Indonesia sekaligus Rektor ISI Yogyakarta, yang karyanya menyoroti hubungan tubuh dan otak manusia dalam perkembangan Artificial Intelligence. Lewat pendekatan visual yang eksperimental, Irwandi menawarkan sebuah pengingat, bahwa kehadiran Artificial Intelligence melalui ragam otomatisasinya dapat berakibat buruk bagi kemampuan manusia dalam berfikir. Melalui karya berukuran 1 meter berjudul Bleeding Mind:The Cost of Automation, pengingat itu dinyatakan melalui visualisasi siluet badan manusia yang kepala dan otaknya terluka. Karya ini dibuat dengan mengkombinasikan teknik fotogram di atas media cyanotype yang diberi sentuhan cat merah sebagai simbolisasi ‘terluka’ dan dirangkai dengan teknologi digital.Bagi Irwandi, seni adalah medium untuk berkomunikasi secara ekspresif, menyuarakan kritik pada ranah sosial, politik dan kemanusiaan. Teknik fotografi abad ke-19, yang masih dibuat secara handmade, memungkinkan bentuk-bentuk komunikasi yang ekspresif, dengan menggabungkannya unsur-unsur rupa yang relevan. Intinya adalah apa yang akan disuarakan, dan bentuk apa yang sesuai sebagai simbol yang dipahami publik. Bagi Irwandi fotografi lebih dari sekedar representasi yang reproduktif.



