close

Smart Grid, Solusi Akses Energi dan Elektrifikasi Pedesaan Jadi Sorotan di KSTI 2025

Bandung–Tantangan elektrifikasi di wilayah terpencil dan strategi penerapan smart grid menjadi fokus utama sesi panel “Akses Energi dan Elektrifikasi Pedesaan: Smart Grid” pada hari ketiga Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 di bidang energi, Sabtu (9/8). 

Diskusi kali ini mempertemukan akademisi, pelaku industri, pemerintah, dan perwakilan masyarakat untuk membedah solusi teknis dan nonteknis dalam menjangkau 0,22% populasi Indonesia yang masih belum menikmati listrik, serta membangun sistem kelistrikan desa yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.

Pembicara pertama, Suwarno dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa listrik tidak hanya harus tersedia secara merata, tetapi juga harus diperkuat penggunaannya agar dapat memberi dampak yang luas untuk masyarakat. 

“Empat pilar penting listrik yang berkelanjutan yaitu ketersediaan energi yang cukup, kemampuan transmisi, keterjangkauan harga bagi konsumen, dan keberlanjutan pasokan bagi generasi mendatang,” urai Suwarno di Sasana Budaya Ganesa.

Menurutnya, strategi mempertahankan sistem kelistrikan harus diimbangi dengan riset, pengembangan, dan inovasi untuk mengoptimalkan penyerapan listrik dari pembangkit energi terbarukan yang bersifat intermittent.

Direktur Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Samsul Widodo,  sebagai keynote speaker kedua menyebut 90% wilayah berada di kawasan pedesaan. Ia menyebutkan pentingnya keterlibatan ekosistem pendukung, termasuk perbankan, agar pengembangan energi pedesaan memiliki keberlanjutan finansial.

“Sejak 2015, pemerintah telah menggelontorkan lebih dari Rp680 triliun untuk pembangunan desa, termasuk perluasan akses listrik melalui tiga pendekatan yaitu ekstensi grid, mini-grid off-grid, serta sistem rumah surya, biogas, dan kincir angin,” jelas Samsul. 

Baca Juga :  Wamendiktisaintek Stella Christie Dorong Penguatan Kolaborasi Vokasi dan Industri di Universitas Hasanuddin

Sementara Eddi Danusaputro sebagai keynote speaker selanjutnya dari Indonesia Deep Tech Innovation Hub membahas peran modal ventura dalam mendorong inovasi teknologi di sektor energi. 

Ia mengajak Indonesia beralih dari dominasi Business to Consumer (B2C) menuju investasi di deep tech berbasis intellectual property yang menghubungkan hasil riset kampus dengan industri. 

“Modal ventura berisiko tinggi namun memiliki potensi imbal hasil besar, dan biasanya masuk setelah tahap pendanaan awal oleh angel investor,” ujarnya.

Perlu Keterlibatan Penduduk Lokal

Dalam sesi panel diskusi, Tri Mumpuni menekankan bahwa keberlanjutan tidak cukup hanya dengan menghadirkan infrastruktur, tetapi juga memerlukan pembangunan kapasitas masyarakat setempat. 

“Yang perlu dibangun itu manusianya, penting untuk membawa kemampuan teknologi sedekat mungkin ke masyarakat desa, sekaligus memberikan fasilitas yang memadai agar teknologi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan,” katanya.

Tri Desmana Rachmildha dari Institut Teknologi Bandung (ITB) berpendapat bahwa pengembangan listrik di pedesaan memerlukan perhatian pada tiga hal utama yaitu availability, menjamin pemanfaatan energi untuk kegiatan yang produktif, serta membentuk “local heroes” yang mampu menjalankan operasi, pemeliharaan, dan perbaikan secara konsisten. Ia juga menambahkan bahwa ketersediaan dana menjadi faktor krusial bagi keberhasilan proyek.

Baca Juga :  Ditjen Diktiristek Dorong Kolaborasi Antarperguruan Tinggi untuk Wujudkan Universitas Berkelas Dunia

“Dengan dukungan teknologi kendali jarak jauh sebagai solusi sementara, ketika SDM lokal belum siap, kita harus jamin energi ini digunakan di kegiatan-kegiatan positif,” tegas ITB. 

Rachmawan Budiarto dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti pentingnya memperkuat keterlibatan komunitas lokal dalam pemanfaatan dan pengembangan teknologi di desa. 

“Sharing peran juga menjadi salah satu kunci untuk keberhasilan semua,” ujar Rachmawan. 

Ia yakin bahwa teknologi memang sudah tersedia, namun penerapannya di pedesaan harus berlandaskan tata kelola yang baik dan capacity building agar dapat berjalan secara berkelanjutan. 

Sarjiya dari UGM menutup diskusi panel dengan pandangan bahwa elektrifikasi pedesaan harus mengintegrasikan riset sosial untuk membangun sistem yang adaptif dan inklusif bagi semua kalangan. 

“Mereka harus punya mekanisme manajemen untuk sustain. Isu sosial meningkatkan kesejahteraan untuk mengangkat ini juga harus diperhatikan,” kata Sarjiya. 

Ia menerangkan perlunya pendekatan multidisiplin yang menggabungkan aspek teknis dan sosial demi memastikan akses energi di wilayah 3T dapat bertahan lama dan memberi dampak positif bagi masyarakat.

Dengan penguatan kapasitas dan dukungan pendanaan yang memadai, keberhasilan elektrifikasi di wilayah 3T diyakini dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi lokal sekaligus memastikan akses energi yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Humas
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi

#DiktisaintekBerdampak
#Pentingsaintek
#Kampusberdampak
#Kampustransformatif
#KSTI2025
#SainsUntukIndonesia
#InovasiMasaDepan
#TeknologiBicara