Potensi Hidrogen dalam Transformasi Energi Nasional Menuju Energi Bersih
Bandung-Hidrogen berpotensi besar sebagai sumber energi terbarukan, baik untuk stabilitas pasokan, maupun sebagai penyangga sumber energi lainnya seperti tenaga surya dan angin. Hal ini menjadi topik hangat dalam agenda Konvensi Sains dan Teknologi Industri Indonesia (KSTI) 2025 di Sasana Budaya Ganesa, Sabtu (9/8).
Dikatakan Guru Besar bidang Teknik Mesin Gadjah Mada, Deendarlianto, dalam sesi diskusi panel bertema Penyimpanan Energi untuk “Stabilitas Grid dan Mobilitas: Teknologi Baterai”, menurutnya, meskipun harga green hydrogen masih relatif tinggi, tren penurunan biaya energi terbarukan akan membuatnya semakin kompetitif.
“Indonesia memiliki potensi produksi hidrogen yang besar, namun konsumsi domestik masih rendah. Diperlukan strategi nasional yang tegas untuk mengoptimalkan potensi ini,” ujar Deendarlianto dalam sesi panel KSTI 2025.
Sesi panel ini menghadirkan pertemuan strategis antara akademisi, industri, dan pemangku kebijakan untuk membahas peran hidrogen dan baterai dalam mempercepat transisi energi menuju target net zero emission.
Dari sisi industri, Andika Pandu Nugroho dari PT Gotion Green Energy Solutions Indonesia memaparkan tren permintaan baterai global yang terus meningkat seiring pertumbuhan kendaraan listrik dan pembangkit berbasis energi terbarukan.
“Kami melihat pasar baterai di Indonesia mulai tumbuh pesat, meski masih di bawah 1 gigawatt-hour. Dengan dukungan insentif dan kolaborasi riset, potensi ini dapat berkembang signifikan,” jelas Andika.
Gotion kata Andika, telah membangun pabrik di Bogor dan Cikarang dengan kapasitas produksi 6,5 gigawatt per tahun, serta menggandeng perguruan tinggi untuk pengembangan teknologi baterai lokal.
Dari sisi regulasi, Sopar Halomoan Sirait dari Kementerian Perindustrian memaparkan dukungan kebijakan untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik berbasis baterai.
“Peraturan seperti insentif pajak hingga percepatan produksi kendaraan emisi rendah, akan memperkuat rantai pasok baterai nasional sekaligus mendorong target penurunan emisi karbon,” terang Sopar.
Sementara itu, Alam Indrawan dari PT RII menekankan pentingnya hilirisasi dan kemandirian produksi komponen strategis, termasuk baterai. Menurutnya, kolaborasi antara riset perguruan tinggi dan industri menjadi kunci untuk menghasilkan produk bernilai tinggi, seperti pengembangan kemasan baterai universal bersama Gotion yang dapat digunakan di berbagai jenis kendaraan listrik.
Dalam sesi diskusi panel, para pakar membedah tantangan dan peluang di sektor penyimpanan energi. Isu ketergantungan pada litium menjadi sorotan utama, mengingat Indonesia tidak memiliki cadangan mineral tersebut. Alternatif seperti baterai berbasis natrium dan teknologi solid state dinilai menjanjikan, meski masih perlu peningkatan kinerja dan keamanan.
Panel juga menyoroti pentingnya kolaborasi riset antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah. Riset mengenai penyimpanan hidrogen, pemanfaatan biomassa, serta pengolahan limbah pertanian menjadi material baterai dinilai strategis untuk mengurangi ketergantungan impor dan menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
Topik daur ulang baterai turut dibahas, mengingat potensi limbah baterai kendaraan listrik yang akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Proses daur ulang dinilai masih memiliki biaya tinggi, sehingga memerlukan regulasi yang mendukung, termasuk insentif bagi industri pengelolaan limbah baterai.
Melalui sesi ini, KSTI 2025 mendorong terciptanya ekosistem penyimpanan energi yang terintegrasi, mulai dari penelitian, produksi, hingga pengelolaan limbah. Hidrogen dan baterai diharapkan menjadi pilar utama dalam memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mempercepat transisi menuju Indonesia bebas emisi karbon.
Humas
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi
#DiktisaintekBerdampak
#Pentingsaintek
#Kampusberdampak
#Kampustransformatif
#KSTI2025
#SainsUntukIndonesia
#InovasiMasaDepan
#TeknologiBicara