KSTI 2025 Dorong Kemandirian Vaksin Nasional lewat Kolaborasi Pentahelix
Bandung–Vaksin dan imunoterapi menjadi fokus bahasan pada salah satu sesi diskusi paralel bidang kesehatan di Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 yang digelar Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Jumat (8/8).
Para pakar dari kalangan akademisi, industri, dan pemerintah sepakat bahwa kolaborasi lintas sektor atau strategi pentahelix menjadi kunci untuk memperkuat kemandirian vaksin nasional.
Fedik Abdul Rantam, akademisi Universitas Airlangga (Unair) menegaskan bahwa vaksin merupakan pilar utama pencegahan penyakit dan memiliki dampak langsung terhadap penurunan angka kematian serta kesakitan. Ia menekankan bahwa keberhasilan pengembangan vaksin memerlukan kemitraan erat antara pemerintah, akademisi, industri, media, dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah program vaksin Merah Putih yang melibatkan Eijkman, Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Unair, serta mitra industri.
“Pemerintah telah mendukung pengembangan vaksin merah putih melalui kemitraan dengan Eijkman, UI, UGM, LIPI, ITB, UNAIR, dan berbagai pihak industri. Peranan pemerintah, akademisi, dan industri sama-sama penting, ditambah dukungan media dan masyarakat,” ujar Fedik.
Dari sisi industri, Sholeh Ayubi dari PT Bio Farma mengungkapkan bahwa produksi vaksin skala besar memerlukan waktu panjang, teknologi mutakhir, dan jejaring mitra global. Bio Farma setiap tahun memproduksi ratusan juta dosis vaksin, termasuk 1,4 miliar dosis vaksin polio yang didistribusikan ke seluruh dunia. Ia mencontohkan kesuksesan pengembangan vaksin polio dan percepatan produksi vaksin COVID-19 berkat dukungan UNICEF, GAVI, dan IsDB.
“Industri vaksin memerlukan kolaborasi global. Di level internasional, kami didukung UNICEF, GAVI, IsDB, dan berbagai lembaga terkait. Contoh sukses pengembangan vaksin kami yaitu produksi vaksin polio dan pengembangan vaksin COVID-19 yang cepat,” ujar Sholeh.
Sementara itu, Christian Karol Saputra (PT Etana Biotechnologies Indonesia) menyoroti tantangan pendanaan riset hingga mencapai Technology Readiness Level (TRL) level 7–8 sebagai syarat hilirisasi. Untuk itu, Etana aktif menjalin kemitraan dengan universitas melalui kuliah tamu, penelitian bersama, dan program magang.
Jarir At Thobari, akademisi Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa masih rendahnya jumlah uji klinis vaksin di Indonesia. Ini disebabkan berbagai keterbatasan antara lain keterbatasan infrastruktur, keterlibatan komunitas, dan pendanaan. Ia menekankan perlunya pendekatan sosial dalam hilirisasi vaksin. Jarir mencontohkan, kolaborasi UNAIR dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa guna meningkatkan penerimaan publik terhadap vaksin.
“Masih ada daerah yang menolak vaksin. Untuk itu, Unair melakukan pendekatan dengan MUI untuk mengeluarkan fatwa, sekaligus meningkatkan literasi masyarakat,” ujar Jarir.
Akademisi Universitas Padjadjaran, Rovina Ruslami menilai bahwa membangun kepercayaan publik adalah tantangan strategis dalam hilirisasi vaksin. Kolaborasi lintas pihak harus diiringi pemetaan peran dan koordinasi yang jelas agar pesan manfaat vaksin tersampaikan secara efektif. Beti Ernawati Dewi (UI) menambahkan, keterlibatan mahasiswa dan peneliti muda dalam penelitian vaksin dapat meningkatkan kapasitas akademik dan rasa percaya diri di bidang kesehatan.
Dari perspektif industri farmasi, FX Sudirman (PT Biotis Pharmaceutical Indonesia) menekankan perlunya konsistensi kebijakan, pemberian insentif, dan dukungan politik untuk memperkuat riset dan uji klinis dalam negeri.
Diskusi ini mengerucut pada satu kesepahaman bahwa kemandirian vaksin nasional hanya dapat tercapai melalui strategi pentahelix, kolaborasi erat antara akademisi, industri, pemerintah, masyarakat, dan media. Sinergi ini tidak hanya memastikan terpenuhinya kebutuhan vaksin dalam negeri, tetapi juga membuka peluang Indonesia menjadi pemain penting di pasar vaksin global.
Kemdiktisaintek berperan sebagai katalisator yang menghubungkan riset perguruan tinggi dengan kebutuhan industri dan masyarakat. Melalui dukungan riset terapan, penguatan kapasitas peneliti, dan fasilitasi kemitraan strategis lintas sektor, Kemdiktisaintek mendorong lahirnya inovasi vaksin yang aman, efektif, dan memenuhi standar internasional untuk memperkuat ketahanan kesehatan nasional sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di industri bioteknologi dunia.
Humas
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi
#DiktisaintekBerdampak
#Pentingsaintek
#Kampusberdampak
#Kampustransformatif
#KSTI2025
#SainsUntukIndonesia
#InovasiMasaDepan
#TeknologiBicara