close

Kolaborasi Memperkuat Pertahanan Siber dan Elektronika Indonesia di KSTI 2025

Bandung-Pemerintah melalui Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri (KSTI) 2025 mendorong penguatan industri siber dan elektronika nasional sebagai bagian dari strategi memperkuat keamanan negara di era digital. Komitmen ini ditegaskan dalam sesi diskusi paralel bidang Pertahanan bertema ‘Keamanan Siber dan Perang Elektronika” yang digelar di Gedung Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB), Sabtu (9/8).

KSTI mempertemukan pakar dan pelaku dari pemerintah, akademisi, dan industri untuk membahas pertahanan dan forensik siber, serta integrasi teknologi perang modern.

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie menegaskan urgensi gerakan nasional yang konkret untuk keamanan siber, termasuk penyediaan pendanaan riset dan pengembangan produk lokal.

“Kita memiliki momentum untuk membangun kesadaran publik sekaligus mempersempit kesenjangan kemampuan siber kita. Proposal sistematis yang melibatkan pemerintah, industri, dan akademisi perlu segera disusun,” ujar Wamen Stella.

Baca Juga :  Mendiktisaintek Dorong Kampus Jadi Pusat Inovasi dan Solusi Kawasan dalam Kunjungan ke UMRAH

Kalamullah Ramli dari Universitas Indonesia membuka sesi dengan memaparkan riset awal pengembangan perangkat Virtual Private Network Encryption Module yang berawal dari kerja sama di Amerika Serikat dan kini dimanfaatkan untuk kepentingan strategis nasional. Teknologi ini diharapkan mampu menciptakan technological surprise demi menjaga keamanan negara.

Suhardi dari Kelompok Keahlian Teknologi Informasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB menyoroti perubahan drastis medan tempur akibat perkembangan teknologi siber, kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan drone. Ia menjelaskan bahwa pengembangan siber perlu difokuskan pada tiga aspek: senjata digital, pertahanan siber, dan forensik. 

“Kuncinya adalah memahami ancaman, menahan serangan, dan merespons dengan cepat saat serangan terjadi,” tegas Suhardi.

Marsekal Pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI), Arwin Datumaya Wahyudi Sumari menguraikan tantangan integrasi perang siber dan perang elektronik, termasuk penggunaan laser untuk menonaktifkan drone hingga operasi siber yang diadaptasi dari konsep militer Amerika Serikat. Menurutnya, keunggulan dalam perang siber bergantung pada pemahaman terhadap ancaman utama, bukan hanya pada siapa lawannya.

Baca Juga :  Dari Paris, Untuk Indonesia: Gagasan, Teknologi, dan Asa Anak Bangsa

David Samuel, CEO Peris.ai, sebuah startup di bidang cybersecurity, mengingatkan bahwa 73 persen organisasi di Indonesia masih menggunakan alat keamanan dari 2010, sementara ancaman kini datang dari malware berbasis AI. 

“Kita harus melawan AI dengan AI,” ujarnya. 

Menurutnya, penggunaan AI agents dapat mempercepat penanganan insiden hingga dua setengah menit per kasus. Fokus tiga tahun ke depan adalah memecah sekat antar lembaga dan mendorong kolaborasi terbuka.

Melalui sesi ini, pemerintah menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat pertahanan siber dan elektronika, sekaligus mendorong lahirnya inovasi dan kemandirian teknologi nasional di bidang keamanan digital.

Humas
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi

#DiktisaintekBerdampak
#Pentingsaintek
#Kampusberdampak
#Kampustransformatif
#KSTI2025
#SainsUntukIndonesia
#InovasiMasaDepan
#TeknologiBicara