close

KIP Kuliah, Lentera Perjalanan Paulus Rosario Hegemur, Anak Papua Menuju Dunia Digital

Fakfak, Papua barat di sudut sebuah ruang sederhana di Politeknik Negeri Fakfak, kami berbincang dengan seorang pemuda sederhana, berjaket almamater biru khas Polinef. Paulus Rosario Hegemur namanya. Mahasiswa semester empat Jurusan Diploma 3 Manajemen Informatika. Di balik senyumnya yang kalem dan tutur katanya yang pelan, tersimpan kisah perjuangan yang luar biasa kisah tentang asa, ketekunan, dan tekad baja seorang anak Papua yang berani menantang keterbatasan.

Paulus Rosario Hegemur lahir di Tanah Papua, tepatnya di Kampung Torea, di sisi barat Fakfak, sebuah kota kecil yang dikelilingi bukit karst dan laut biru yang tenang. Ia kehilangan kedua orang tuanya pada usia yang sangat dini, tiga tahun. Sejak saat itu, dunia seakan memaksanya untuk tumbuh lebih cepat daripada anak-anak seusianya. Diasuh oleh kakek dan neneknya, masa kecil Paulus bukanlah masa yang penuh keceriaan seperti kebanyakan anak lainnya.

“Saya tidak pernah benar-benar mengenal papa mama saya. Tapi saya selalu percaya, mereka pasti ingin saya jadi orang yang tidak menyerah,” ucap Paulus sambil tersenyum, menyembunyikan getir masa lalu yang barangkali masih sering ia raba dalam diam.

Kehilangan keluarga bukan satu-satunya ujian hidupnya. Paulus juga memiliki keterbatasan fisik yang membuatnya sempat diragukan oleh banyak orang. Namun keterbatasan itu justru menjadi pemantik semangat dalam dirinya untuk membuktikan bahwa ia tidak kalah dengan siapa pun.

Perkenalan Paulus dengan dunia digital berawal saat duduk di bangku SMP. Paulus pertama kali bersentuhan dengan komputer. Sebuah komputer tua di laboratorium sekolah SMP YPKK Fakfak menjadi gerbang yang membukakan matanya pada dunia baru yang luas, dunia digital.

“Saya tidak tahu kenapa, tapi sejak pertama kali belajar Word dan Excel, saya langsung suka. Rasanya seperti menemukan tempat di mana saya bisa menjadi siapa saja,” ujar Paulus dengan logat khas Papuanya yang kental.

Ketertarikannya tidak berhenti di sana. Ia mulai meminjam buku tentang komputer, menonton tutorial pemrograman lewat YouTube saat akses internet mengizinkan. Dari sana ia mulai mengenal bahasa pemrograman seperti HTML, JavaScript, Python, dan bahasa pemrograman lainnya. Semua dipelajari Paulus secara otodidak.

“Saya pikir, kalau orang lain bisa bikin aplikasi, saya juga harus bisa. Walau belajar sendiri, saya senang karena pelan-pelan mulai mengerti logika dan struktur program,” ujarnya penuh semangat.

Meski cerdas dan penuh semangat, mimpi Paulus sempat terancam pupus ketika ia lulus SMA. Tidak ada yang bisa membantunya secara finansial, sementara biaya kuliah bukan hal yang kecil bagi pemuda yatim piatu seperti dirinya. Namun takdir seolah menyimpan kejutan untuknya.

Baca Juga :  Kampus Merdeka Ajak Mahasiswa Bangun Industri B2B E-Commerce Indonesia

Peran KIP Kuliah

Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) datang seperti lentera di tengah gelap. Paulus menjadi salah satu mahasiswa Orang Asli Papua yang menerima bantuan ini. Dengan beasiswa KIP Kuliah, semua biaya pendidikan dan sebagian biaya hidupnya ditanggung negara.

“Kalau bukan karena KIP Kuliah, saya pasti sudah kerja serabutan dan berhenti sekolah. Program ini tidak hanya bantu biaya kuliah, tapi juga kasih saya harapan menuntaskan cita-cita saya,” kata Paulus.

Kini ia kuliah di Politeknik Negeri Fakfak, jurusan yang sangat ia impikan, Manajemen Informatika. Ia ingin menjadi programmer profesional, membangun aplikasi yang bisa membantu orang lain, terutama masyarakat di kampung-kampung Papua.

Cita-cita Paulus tidak berhenti di ruang kelas. Dengan modal ilmu yang didapat dari kampus dan semangat belajar yang tiada henti, ia kini sedang membangun sebuah aplikasi berbasis Artificial Intelligence (AI). Meski belum rampung sepenuhnya, konsepnya cukup menarik, sebuah aplikasi berbasis AI yang dapat membantu masyarakat Papua. Ia masih merahasiakan detail aplikasi yg sedang dibangunnya. Proyek ini dimulainya sebagai tugas mandiri. Ia tidak punya tim atau mentor khusus. Namun semangat belajarnya membuat ia terus maju, meskipun perangkat yang digunakannya sudah sering ngadat dan koneksi jaringa yang sering putus-nyambung.

“Saya ingin teknologi itu bisa dinikmati juga oleh orang-orang kampung. Mereka mungkin tidak bisa baca atau menulis, tapi kalau bisa interaksi dengan aplikasi ini akan mendapat jawaban. itu bisa bantu mereka. Saya percaya, kalau tujuannya untuk kebaikan, pasti akan ada jalannya,” kata Paulus dengan penuh keyakinan

Perjalanan Paulus tidak ia tempuh sendirian. Beberapa dosen di kampus melihat potensi besarnya dan memberi dukungan moral serta akademik. Salah satu dosennya, Bata Biru Saputri, dosen di Prodi Manajemen Informatika menyebut Paulus sebagai mahasiswa dengan karakter tangguh dan pembelajar luar biasa.

“Paulus merupakan mahasiswa yang tidak hanya rajin, namun juga tekun dan kreatif. Di tengah keterbatasannya, Paulus mampu berpikir membuat sesuatu yang bermanfaat. Kami bangga punya mahasiswa berprestasi seperti dia,” tutur Biru.

Teman-teman sekelasnya pun kagum pada ketekunan Paulus. Ia tidak banyak bicara, tapi selalu siap membantu jika ada yang kesulitan memahami materi. Di luar jam kuliah, Paulus kerap mengajak diskusi tentang pemrograman dan kecerdasan buatan.

Baca Juga :  Terima Kunjungan Dubes Tajikistan, Mendiktisaintek Jajaki Pengembangan Kerja Sama Pendidikan Tinggi yang Komprehensif

Bagi Paulus, menjadi programmer bukan sekadar pekerjaan yang menjanjikan secara ekonomi. Ia melihat teknologi sebagai alat untuk memberdayakan. Ia bermimpi suatu saat bisa mendirikan sekolah coding gratis bagi anak-anak Papua di kampung-kampung, terutama bagi mereka yang tidak mampu.

“Saya tahu rasanya tidak punya siapa-siapa dan tidak tahu harus ke mana. Saya ingin ada tempat di mana anak-anak bisa belajar teknologi tanpa harus bayar mahal. Supaya mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan,” ujarnya.

Impian itu tidak muluk-muluk jika melihat semangat yang ia miliki. Ia percaya bahwa pendidikan dan teknologi adalah dua hal yang bisa menjadi pembebas paling kuat dari keterbatasan dan ketertinggalan.

Di tengah gemuruh pembangunan infrastruktur dan teknologi di Indonesia, kisah Paulus Rosario Hegemur adalah pengingat bahwa pembangunan sejati terjadi ketika anak bangsa di pelosok negeri diberi kesempatan yang setara untuk berkembang. Dalam tubuh mungil dan wajah yang bersahaja, tersimpan kekuatan luar biasa, ketangguhan untuk terus melangkah meski dunia kerap tak ramah.

“Saya tidak ingin dikasihani karena yatim piatu atau karena saya orang Papua. Saya hanya ingin diberi kesempatan yang sama. Dan kalau saya berhasil, saya akan bantu yang lain juga,” tuturnya pelan.

Paulus menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya, terutama bagi sesama mahasiswa Orang Asli Papua. Ia membuktikan bahwa semangat, ketekunan, dan dukungan yang tepat bisa membentuk seseorang menjadi agen perubahan, tidak peduli dari mana asalnya atau seperti apa masa lalunya.

Kisah Paulus Rosario Hegemur adalah cerita tentang cahaya yang menyala dari ujung timur Indonesia. Ia tidak hanya membangun aplikasi dan menulis kode, tetapi juga sedang membangun masa depan untuk dirinya, masyarakatnya, dan bangsanya. Dari ruang kelas kecil di Polinef, ia memandang jauh ke depan, ke dunia yang ia ingin taklukkan dengan logika dan hati.

Dan mungkin, suatu hari nanti, anak-anak di kampung-kampung dan pesisir Papua akan belajar memanfaatkan inovasi karya Paulus. Aplikasi yang lahir dari ketabahan, kecintaan pada ilmu, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak bangsa.

Humas
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi

#DiktisaintekBerdampak
#DiktisaintekSigapMelayani
#Pentingsaintek
#Kampusberdampak
#Kampustransformatif