close

Hilirisasi Riset dan Bahan Baku Lokal Jadi Kunci Kemandirian Industri Farmasi Nasional

Bandung-Kemandirian industri farmasi nasional menjadi sorotan dalam sesi paralel “Pengembangan Industri Farmasi” pada Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025, yang berlangsung di Aula Barat Institut Teknologi Bandung. Para akademisi, pelaku industri, praktisi, dan pemerintah sepakat bahwa hilirisasi bahan baku obat dari bahan alam memerlukan sinergi lintas sektor untuk mengurangi ketergantungan impor, Sabtu (9/8).

Guru Besar Sekolah Farmasi ITB, Elfahmi memaparkan riset produk spin off MarkHerb yang memproduksi marker compound untuk penelitian dan standardisasi produk herbal. Produk ini hadir sebagai solusi bagi peneliti yang selama ini harus memesan senyawa marker dari luar negeri dengan waktu inden lama dan biaya tinggi. 

“Nilai tambah industri farmasi mulai dari tanaman hingga ekstrak sangat besar, dengan proyeksi nilai pasar Indonesia pada 2030 mencapai USD 9,6 miliar. Saat ini 90 persen bahan baku obat masih impor,” ujar Elfahmi.

MarkHerb juga mengembangkan simplisia, ekstrak terstandar, dan bahan baku obat herbal, termasuk Flabio, produk bioflavonoid berbasis singkong.

Baca Juga :  Transformasi Pemanfaatan Sains dan Teknologi Menuju Masyarakat Ilmu Pengetahuan

Dari sisi industri, Hidayat Setiadji, Vice President of Corporate, Institutional Relationships, and Transformation of Healthcare Services PT Bio Farma, menyoroti dominasi impor dalam penyediaan alat kesehatan dan bahan baku obat. 

“Saat ini, 52% alat kesehatan di Indonesia berasal dari impor dan 80% bahan baku obat masih impor,” ungkap Hidayat.

Ia juga mengungkap hambatan proses registrasi variasi ke BPOM yang memakan waktu 1,5–2 tahun, seperti pada penggantian bahan garam farmasi impor menjadi lokal.

Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan dukungan untuk industri dalam negeri. Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes, Dita Novianti menyebut adanya insentif fiskal, hibah, pendanaan pemerintah, percepatan perizinan, dan penciptaan pasar bagi produk berbahan baku lokal. 

“Namun, fasilitas ini sering belum diketahui industri, sehingga belum dimanfaatkan optimal,” ujar Dita.

Sementara itu, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Keri Lestari Dandan, mengingatkan adanya kesenjangan dukungan iptek, kualitas dan kuantitas bahan baku, serta harga produk lokal yang belum kompetitif dibanding impor. “Secara bisnis, harga bahan baku impor lebih disukai,”  jelas Keri.

Baca Juga :  Ditjen Diktiristek-USAID Luncurkan Buku dan Modul Pembelajaran Daring KKN Tematik Kewirausahaan

Ia juga mendorong resource sharing untuk memenuhi kebutuhan nasional, terutama pada penyakit prioritas seperti kanker, jantung, stroke, dan uronefrologi.

Sesi paralel ini juga menghadirkan Bondan Ardiningtyas, peneliti Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menekankan tantangan dari sisi peneliti. 

“Tantangan hilirisasi riset farmasi ada pada konsistensi serta waktu yang diperlukan, mengingat tahapan dari riset sampai dengan dihilirkan memerlukan waktu yang bervariasi, mulai dari 5 hingga 15 tahun,” tutur Bondan.

Diskusi panel ini menyimpulkan bahwa kemandirian industri farmasi hanya dapat dicapai melalui kolaborasi pentahelix yang melibatkan akademisi, industri, pemerintah, praktisi, dan masyarakat untuk merumuskan peta jalan serta kebijakan jangka panjang.

Humas
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi

#DiktisaintekBerdampak
#Pentingsaintek
#Kampusberdampak
#Kampustransformatif
#KSTI2025
#SainsUntukIndonesia
#InovasiMasaDepan
#TeknologiBicara