Dosen FEMA IPB University Terapkan Model Ekologi Bagi Penuntasan Stunting dan Ibu Hamil Anemia pada Masa Pandemi
Stunting dan permasalahan gizi buruk pada anak-anak merupakan masalah yang masih berusaha diatasi oleh pemerintah dan semua pihak. Upaya penanggulangan stunting terutama pada masa pandemi turut menjadi perhatian. Peran Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan bagi masyarakat menjadi penting sehingga pemantauan kasus stunting di berbagai wilayah Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Dr Yayuk Farida Baliwati, Dosen IPB University dari Prorgram Studi (Prodi) Dietisien, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia tawarkan model ekologi yang dapat diterapkan dalam penanganan stunting serta anemia di Puskesmas pada masa pandemi. Hal ini disampaikannya dalam Pergizi Pangan Webinar Seri 40 berjudul “Peran Prodi Dietisien IPB dalam Perbaikan Gizi di Masa Pandemi”, (14/04).
Kajian tersebut merupakan hasil dari kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Guru Besar IPB University Mengabdi melalui pendampingan pelaksanaan program Puskesmas Kota Bogor Desember 2020 lalu.
Ia menyoroti peran puskesmas dalam hal pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan program gizi. Utamanya terkait dengan Program Upaya Kesehatan Masyarakat mengenai gizi pada saat pandemik.
“Dalam kegiatan pelayanan, ada yang bersifat wajib dan ada yang bersifat menyesuaikan. Kegiatan wajib yakni tata laksana gizi buruk, sedangkan yang bersifat menyesuaikan dengan kondisi dan protokol kesehatan adalah pemantauan status gizi balita, pemberian suplementasi gizi, KIE (Penyuluhan/Komunikasi, Informasi dan Edukasi) dan konseling gizi,” ujarnya.
Menurutnya, kegiatan pengabdian kepada masyarakat lebih banyak terkait pada KIE dan konseling gizi untuk kasus stunting dan anemia di Kota Bogor. Pola yang ingin ditawarkan yakni terjadinya perubahan perilaku agar kasus tidak bertambah. Tantangan yang dihadapi berupa percepatan penurunan stunting tahun 2019 masih di angka 1 dari 3 balita yakni sekitar 27,7 persen. Sedangkan target pada masa kepimpinan Jokowi yakni sampai 14 persen.
“Selain itu, stunting juga berhimpitan dengan masalah gizi lain yang dapat mendukung proses percepatan penurunannya. Yakni anemia ibu hamil. Sehingga rantai tersebut diharapkan dapat diputus melalui pengabdian kepada masyarakat melalui pendekatan ekologi,” sebutnya.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan tahun 2008, permasalahan utama stunting di Indonesia yakni diakibatkan oleh kombinasi antara kebijakan yang belum konvergen atau sinergis antar sektor dan wilayah belum. Sehingga belum bisa memberikan dukungan strategis terhadap pencegahan stunting serta permasalahan perilaku baik di tingkat individu, masyarakat dan layanan kesehatan masyarakat.
“Kasus stunting di Kota Bogor berdasarkan survei Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dinilai belum mengkhawatirkan, tetapi bersifat fluktuatif sehingga belum cukup dikatakan aman. Alasan lain anak-anak gagal tumbuh yakni adanya faktor ibu anemia dan ketidakckupan ASI eksklusif. Dengan intervensi model ekologi di luar faktor lingkungan, perilaku kesehatan, pelayanan kesehatan dan genetik tersebut diharapkan dapat menekan angka stunting,” imbuhnya.
Model ekologi tersebut diterapkan melalui komunikasi gizi yang dapat dilakukan dalam berbagai level, baik interpersonal, intrapersonal, organisasi, dan komunitas. Edukasi gizi yang dilakukan juga dapat dilakukan secara tatap muka maupun kunjungan rumah dengan tetap menerapkan protokol kesehatan COVID-19.
Hasil intervensi edukasi gizi tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan ibu hamil hingga 14,3 persen. Sasaran edukasi juga termotivasi untuk melakukan ASI eksklusif dan meningkatkan asupan zat besi setelah dilakukannya diskusi dan penyuluhan gizi. (MW/Zul)