close

“Inovasi Deteksi Kebohongan” Raih Medali Emas dalam IICYMS 2021

Prestasi membanggakan kembali disabet oleh mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR). Kali ini prestasi itu diraih lewat kompetisi Intenational Invention Competition for Young Moslem Scientist 2021 (IICYMS 2021) yang diadakan oleh Indonesian Young Scientist Association.

Dalam kompetisi itu, sebanyak lima mahasiswa UNAIR yang tergabung dalam satu tim berhasil meraih medali emas dan Macedonia Special Awards untuk inovasi teknologi lie detector. IICYMS 2021 merupakan lomba berskala internasional yang diikuti oleh 17 negara, seperti Malaysia, Singapura, dan Turki.

Gina Yunita Pranosa selaku ketua tim mengatakan bahwa lie detector pada umumnya menggunakan sensor khusus dan poligraf untuk mengukur detak jantung. Sementara lie detector yang sedang dikembangkan oleh Gina dan tim menggunakan serat optik (fiber optic) untuk mengukur detak jantung guna mendeteksi kebohongan.

“Dengan menggunakan serat optik, kami bisa mendapat resultan deteksi kebohongan yang jauh lebih akurat. Dalam rentang frekuensi detak jantung 50 – 300 bpm, telah kami buktikan bahwa tingkat lenearitasnya hampir 100 persen,” ujar mahasiswa prodi Fisika angkatan 2019 itu.

Baca Juga :  Jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta Jalin Kerjasama MBKM dengan Jurusan Seni Murni ISI Surakarta

Selain itu, lie detector yang dikembangkan timnya memiliki desain yang lebih sederhana. Tak hanya itu, tingkat spesifik yang tinggi itu bisa dijangkau dengan dinamis dan biaya fabrikasi yang murah. Sehingga menurut Gina, inovasi ini dapat diaplikasikan dengan mudah di lapangan.

Gina mengatakan bahwa inovasi tersebut sangat diilhami oleh sebuah jurnal penelitian yang berjudul Fiber Optic Sensor Heart Rate Detection. Inovasi itu merupakan aplikasi nyata dari hipotesis saintifik yang tertuang dalam jurnal tersebut.

Mengikuti kompetisi sains berbasis inovasi tidaklah mudah di tengah pagebluk Covid-19 yang masih mengganas. Selama kurang lebih dua bulan persiapan, tim harus melewati berbagai revisi video presentasi.

“Tak hanya itu, kami juga tidak bisa presentasi full team akibat dua anggota tim kami harus rehat akibat kesehatannya drop,” kisah Gina.

Sementara itu, Prof. Dr. Retna Apsari selaku dosen pembimbing turut memberikan komentar positif kepada tim bimbingannya. Guru Besar Fisika itu menjelaskan bahwa pengembangan deteksi detak jantung berbasis serat optik itu pertama kali dikembangkan olehnya di Laboratorium Fotonika FST UNAIR bersama fisikawan dari UNAIR lainnya, yakni Prof. Dr. Moh. Yasin dan Yhosep Ghita Yhun Y., S.Si., MT.

Baca Juga :  Mahasiswa ITS Rintis Drafta, Ekosistem Digital bagi Mahasiswa

Prof Retna juga menambahkan bahwa prestasi kali ini menjadi sematan harapan dan pemicu bagi mahasiswa fisika dan mahasiswa UNAIR untuk tak henti-hentinya berprestasi di kancah nasional dan internasional.

“Tentu harapannya bahwa inovasi ini dapat diaplikasikan secara maksimal di dunia forensik. Bahkan bersama dengan Departemen Fisika UGM, inovasi penelitian berbasis sensor optik ini dapat digunakan pula untuk deteksi gerakan gunung berapi dan telah mendapatkan dana penelitian dari RKI selama dua tahun. Kami membuka peluang kerja sama dengan seluruh sivitas akademika UNAIR dan praktisi di luar UNAIR untuk memaksimalkan hasil penelitian yang berbasis sensor fiber optik serta pendukungnya,” ujarnya. (*)

Sumber: unair.ac.id