Semangat Puasa Syawal, Optimalkan Imunitas, Begini Penjelasan Pakar IPB University
Dalam upaya mencegah berbagai macam penyakit infeksi, kita perlu meningkatkan imunitas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah melalui puasa, lalu benarkah puasa dapat meningkatkan imunitas tubuh?
Pertanyaan tersebut dijawab Prof Hardinsyah, Guru Besar IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dalam podcast Linisehat.
“Dari segi makanan, upaya meningkatkan imunitas, di antaranya melalui pemenuhan kebutuhan lauk pauk, sayur dan buah. Karena makanan ini mengandung asam amino, vitamin B, D, A, dan mineral zink, besi dan magnesium yang diperlukan tubuh dalam pembentukan sel-sel imunitas. Artinya dengan memenuhi gizi seimbang seperti anjuran isi piringku, maka akan terpenuhi kebutuhan zat gizi tersebut,” ujarnya.
Menurut Prof Hardinsyah, tubuh mengalami penyakit infeksi bila imunitas tubuh kita tidak mampu merespon dan mengalahkan benda asing atau patogen yang masuk.
Puasa mempunyai manfaat unik. Salah satu manfaat uniknya adalah, bila tubuh kita puasa dengan kondisi defisit energi minimal selama sekitar 12 jam berkali-kali, maka akan terjadi autofagi (autophagy). Auto berarti sendiri, dan phagy berarti makan. Autofagi berarti sel-sel fagasom diaktifkan untuk menangkap, memakan dan menghancurkan sel-sel yang tidak aktif, yang loyo dan berusia lanjut.
“Dalam ilmu imunitas dan mikrobiologi juga dikenal proses seperti autofagi yang disebut dengan senofagi (xenophagy). Xeno itu artinya asing, dan phagy memakan. Jadi senofagi adalah proses sel-sel imunitas mirip fagasom seperti makrofah menangkap dan menghancurkan benda-benda asing atau patogen yang masuk ke dalam tubuh,” tuturnya.
Prof Hardin menambahkan bahwa selama berpuasa dengan baik dan benar, disertai defisit sekitar 10-30 persen energi, aktivitas autofagi dan senofagi meningkat pesat dan tubuh semakin mengalami detoks atau pembersihan.
Autofagi dan senofagi artinya, makrofah sebagai salah satu bagian dari sel imunitas manusia yang pola kerjanya mirip dengan proses autofagi, memakan dan menghancurkan sel-sel penganggu atau patogen.
Kemudian dalam kondisi puasa setelah beberapa hari tubuh semakin bersih dari sel dan molekul tidak berguna dan patogen sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi sel dan molekul yang diperlukan tubuh termasuk sel-sel imunitas tubuh.
Prof Hardinsyah menyampaikan kisahnya pernah tidak terbangun untuk makan sahur, sehingga harus menjalani sekitar 18 jam dalam kondisi tidak mendapat asupan makanan. Kondisi seperti ini memungkinkan peningkatan proses autofagi dan senofagi.
“Hampir setiap tahun saya dan keluarga mengalami beberapa hari dalam bulan suci bablas tidak sempat sahur sehingga durasi tubuh tidak mendapatkan asupan makanan menjadi semakin lama. Tapi setelah paham tentang autofagi dan senofagi, saya yakin ini takdir Tuhan yang memberikan kesempatan autofagi dan senofagi yang lebih pesat pada tubuh saya karena lebih dari 14 jam proses autofagi meningkat luar biasa. Mungkin saat itu tubuh sudah perlu didetox, diautofagi agar imunitas lebih meningkat,” ungkapnya.
Di akhir sesi, Prof Hardinsyah mengulas bahwa peningkatan imunitas dengan berpuasa dapat diperoleh tidak hanya melalui jalur autofagi, senofagi dan regenerasi sel, namun juga bisa melalui jalur mikrobiota baik atau probiotik, dan jalur kendali stres.
“Kita tahu bakteri baik meningkatkan imunitas kita. Kajian-kajian puasa akhir-akhir ini mengungkap bahwa puasa ramadhan mampu meningkatkan bakteri baik dan menurunkan bakteri tidak baik pada tubuh. Ini secara tidak langsung meningkatkan imunitas, karena banyak kajian menunjukkan jika bakteri baik dominan maka imunitas akan meningkat. Juga dengan berpuasa kita bisa mengendalikan stres sehingga imunitas semakin optimal,” jelasnya.
Setelah menunaikan puasa Ramadhan selama sebulan, umat muslim bisa lanjut dengan puasa enam hari di bulan Syawal atau puasa-puasa sunnah lainnya. Sehingga imunitas tubuh bisa terus ditingkatkan. (IR/Zul)