CTSS IPB University Bersama WCS Kompak Manfaatkan AI untuk Lawan Perdagangan Hewan Liar
Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University bersama dengan Wildife Conservation Society (WCS) bersepakat menanggulangi perdagangan hewan liar menggunakan teknologi artificial intelligence (AI). Upaya ini dilakukan guna melindungi satwa-satwa liar baik yang berstatus dilindungi maupun bukan.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Wildlife Conservation Society (WCS), perburuan dan peredaran illegal wildlife trade (IWT) di dunia menyebabkan kerugian yang tinggi dan menempati urutan ketiga dengan nilai kerugian sebesar 7-23 milyar dolar per tahun. Kegiatan IWT ini melibatkan ribuan jenis satwa dan tumbuhan yang terancam punah.
Terdapat berbagai macam komoditas hewan maupun tumbuhan yang diperjualbelikan secara ilegal. Komoditas yang diperjualbelikan tersebut meliputi komoditas hidup maupun yang sudah mati. Beberapa komoditas yang diperdagangkan juga termasuk bagian dari hewan maupun tumbuhan. Bahkan, beberapa komoditasnya dalam bentuk produk dan bahan turunan yang sudah diolah.
“Indonesia sendiri, menjadi sumber megabiodiversity dan sekaligus menjadi pasar bagi banyak satwa baik satwa native species Indonesia maupun bukan yang berasal dari luar negeri, tetapi usernya adalah orang-orang yang berada di Indonesia,” ujar Dwi N Adhiasto, Wildlife Trafficking Specialist sekaligus Fellows CTSS IPB University.
Dengan adanya transaksi ilegal, kata Dwi, maka ada berbagai macam modus operandi yang dilakukan oleh pelaku supaya bisnis yang dilakukan tetap berjalan lancar. Lebih lanjut ia menjelaskan peredaran ilegal satwa liar ini merupakan transnational organized crime. Hal ini karena kejahatan tersebut dilakukan lintas batas negara dan benua serta terkait dengan kejahatan lainnya.
“Perdagangan satwa liar ini, juga terkait dengan kejahatan lainnya seperti transaksi narkoba maupun human trafficking bahkan ada kaitannya dengan ideologi,” ujar Dwi dalam pertemuan para ahli satwa liar, 28/4.
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan, kegiatan IWT ini merupakan kejahatan yang kompleks. Pasalnya, kejahatan ini melibatkan berbagai model transaksi, berbagai macam bentuk komoditas, skema pembayaran yang kompleks, melibatkan pihak ketiga bahkan dapat melibatkan perusahaan.
Berdasarkan World Wildlife Crime Report yang dirilis oleh United Nations Office On Drugs And Crime tahun 2020, transaksi jual beli satwa liar dilakukan melalui berbagai media sosial seperti Facebook, Whatsapp, dan Telegram. Para pelaku biasanya membuat grup tertutup antar pelaku sehingga tidak semua orang bisa masuk grup tersebut dan bahkan bisa lolos dari pemantauan pihak berwenang.
Di masa pandemi COVID-19, ternyata transaksi jual beli IWT masih tetap berjalan. Para pelaku justru lebih memanfaatkan transaksi online dan bahkan ada beberapa ecommerce yang mendukung transaksi ini. Selama pandemi juga, transaksi IWT lebih memanfaatkan jasa kargo dan ekspedisi karena dinilai lebih aman dari pantauan aparat.
Adapun preferensi penyelundupan yang dilakukan melalui exit points baik dalam volume kecil, frekuensi tinggi, dan berbagai modus penyelundupan.
“Selama pandemi, pelaku beradaptasi dengan berbagai preferensi modus operandi yang dirasa lebih aman. Oleh karena itu, perlu teknologi untuk membantu pencegahan dan penegakan hukum dengan menggandeng saintis maupun akademisi yang berkutat dengan konservasi satwa liar,” pungkas Dwi.
Terkait teknologi artificial intelligence, Dr Medria Hardhienata, Fellows CTSS IPB University menjelaskan, teknologi artificial intelligence dapat digunakan untuk membantu memantau dan mencegah transaksi IWT. Secara tipologi, teknologi AI ini dapat digunakan untuk monitoring, predicting, discovering, interpreting, interacting with the physical environment, interacting with machines dan interacting with people.
Aplikasi AI dalam bidang wildlife, lanjut Dr Medria, dapat digunakan untuk sound monitoring, animal tracking, GPS tracking, identifikasi, mapping, dan investigasi. “Sudah banyak yang memanfaatkan teknologi AI untuk satwa liar. Teknologi AI ini dapat digunakan untuk mendetaksi pemburu yang masuk ke dalam wilayah penangkaran,” ujar Dr Medria.
Lebih lanjut ia menjelaskan, teknologi AI juga dapat mempelajari pola migrasi untuk konservasi hewan liar. Tidak hanya itu, teknologi ini juga dapat mengidentifikasi binatang berdasarkan pola yang unik maupun ciri khas lainnya yang dimiliki oleh binatang. Teknologi ini juga dapat membantu pembentukan framework untuk mendeteksi IWT pada media sosial menggunakan deep learning content filter.
Ia pun menjelaskan, program yang diinisiasi oleh CTSS IPB University dan WCS adalah pengembangan aplikasi prediksi wildlife trafficking. Pengembangan aplikasi ini diharapkan dapat membantu memprediksi hewan-hewan maupun bagiannya yang sering diperjualbelikan. Tidak hanya itu, pengembangan teknologi AI ini diharapkan dapat mengetahui sebaran spesies yang diperjualbelikan serta sebaran kasus dan lokasi sebaran kasus IWT.
Indra Eksploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Konservasi turut mendukung pengembangan AI untuk IWT. Dirinya berharap, dengan pengembangan AI untuk IWT dapat mendukung program pemerintah yang sudah berjalan saat ini. (RA)