Lawalata IPB University Ungkap Peran Pemuda dan Masyarakat dalam Mitigasi Bencana
Perkumpulan Mahasiswa Pencinta Alam (Lawalata) IPB University menaruh kepedulian akan pentingnya peran pemuda dan masyarakat dalam mitigasi bencana. Belum lama ini Lawalata mengadakan webinar dengan menghadirkan Een Irawan Putra S.Hut (Staf Khusus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB), Dr Syamsul Bahri (Sekretaris Pusat Studi Bencana IPB University), Cucup Supriatna (Staf PTPN VIII Gunungmas) dan Soma Suparsa (Koordinator Relawan Bencana Longsor Sumedang).
Dalam paparannya, Een Irawan menjelaskan mengenai pentingnya mitigasi bencana. Menurut Een kita harus siap siaga mitigasi bencana karena kita berada di negara yang rawan bencana.
“Ada empat kluster kebencanaan yakni Geologi dan Vulkanologi, Hidrometeorologi 1, Hidrometeorogi 2 (seperti banjir, longsor, abrasi dan lainnya) dan bencana non alam. Yang memprihatinkan, penyebab karhutla (kebakaran hutan dan lahan) adalah 99 persen disebabkan oleh perilaku manusia. Ada kepala desa dibayar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membakar lahan,” tuturnya.
Sementara itu, Syamsul B Agus menjelaskan bencana berdasarkan sumber seperti bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Menurutnya manusia menjadi salah satu aktor penting terjadinya bencana. Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilewati tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik.
“Kita perlu manajemen bencana dan pentingnya mitigasi untuk mengurangi dampak-dampak terjadinya bencana. Banyak hal bisa kita lakukan untuk bekerja sama dari tingkat pemerintah, BNPB, kampus sampai unit terkecil yaitu RT dan RW di lingkungan kita. Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan memperkuat edukasi kebencanaan, adaptasi (diantaranya dari perubahan iklim yang terjadi di dunia sampai saat ini) dan ketiga penguatan infrastruktur,” imbuhnya.
Pada kesempatan ini Cucup Supriatna menunjukkan studi kasus bencana yang terjadi di Gunung Mas, Desa Rawa Dulang Bogor pada tanggal 19 Januari 2021. Dalam penuturannya, Cucup menjelaskan kronologis terjadinya banjir bandang di daerah tersebut.
“Saat itu seminggu sebelum kejadian, cuaca sangat ekstrim. Hujan lebat setiap hari turun. Kejadian bencana banjir bandang tersebut mengagetkan warga sekitar dan membuat panik karena bencana tersebut tidak pernah sama sekali terjadi sebelumnya. Penyebab banjir bandang tersebut adalah terjadi longsor di hulu dan penyumbatan air di desa. Menurut kesaksian warga, hampir empat meter ketinggian air banjir bandang yang terjadi pada warga di Desa Rawa Dulang. Evakuasi warga ke tempat aman selama delapan hari. Dengan kejadian bencana tersebut banyak yang dipelajari,” tuturnya.
Kejadian tersebut membuka mata warga bahwa bencana tidak bisa kita prediksi. Meski tak ada korban jiwa, rasa trauma terus menyelimuti masyarakat hingga saat ini.
Hal yang sama juga disampaikan Soma Suparsa yang menjelaskan studi kasus longsor di Sumedang. Menurutnya Bukit Cimanggung, Sumedang tersebut sudah tidak layak untuk tempat pemukiman warga. Hal tersebut membutuhkan perhatian lebih dari semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah.
“Pada saat penanganan, kegiatan yang dilakukan yaitu berkoordinasi dengan BASARNAS (Badan SAR Nasional), menyiapkan transportasi, medis, tim evakuasi untuk korban dan mengedukasi masyarakat dari hasil kajian untuk diungsikan ke tempat aman. Tak lupa pemasangan garis polisi untuk memudahkan proses evakuasi di tempat bencana,” terangnya.
Kegiatan yang dilakukan setelah penanganan di antaranya adalah menyiapkan lokasi pengungsi, MCK sesuai jumlah pengungsi, sanitasi, pos informasi, pos medis, pos relawan psikososial, penyaluran logistik, dan penyediaan air bersih. (**/Zul)