Pakar Agribisnis IPB University Beri Penjelasan Soal Harga Cabai Melambung Tinggi
Dr Feryanto, dosen IPB University dari Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) turut memberikan pandangan terkait melambungnya harga cabai di Indonesia. Ia menyebut, melambungnya harga cabai tidak terlepas dari supply dan demand terhadap cabai.
“Cabai ini agak unik karena menjadi komponen utama sebagai bumbu masak di masyarakat. Dan menariknya lagi, masyarakat kita lebih senang dan cenderung mengonsumsi cabai segar, dari situlah harga cabai sangat fluktuatif,” ujar Dr Feryanto.
Dari sisi demand atau permintaan, kata Dr Feryanto, permintaan cabai cenderung stabil. Dirinya menyebut, permintaan cabai dalam satu bulan berada pada kisaran 250-260 ribu ton. “Hampir setiap bulan konsumsinya seperti itu, tetapi memang pada bulan tertentu seperti menjelang bulan puasa dan hari besar keagamaan, permintaannya naik sampai 15 persen,” jelasnya.
Sementara, dari sisi supply, ia menilai terdapat permasalahan produksi yang belum stabil. Bahkan, pada akhir tahun lalu, produksi cabai cenderung turun.
“Petani kita masih mengikuti tren harga komoditas pertanian terutama hortikultura. Jadi ketika harga naik, maka petani itu berlomba-lomba menanam komoditas yang harganya naik. Sedangkan ketika harga turun, petani akan berupaya untuk memilih tanaman lain,” kata Dr Feryanto.
Untuk komoditas cabai, Dr Feryanto menjelaskan bahwa produksi pada akhir tahun 2020 mulai turun. Fenomena ini diperparah dengan mundurnya masa tanam cabai akibat curah hujan yang tinggi. Bahkan, di beberapa daerah sentra produksi cabai seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, lahan pertanian cabai terendam banjir sehingga sebanyak 40 persen lahan gagal panen. Dengan demikian, tren kenaikan hara cabai sudah terlihat sejak akhir tahun 2020.
Dr Feryanto juga menyebut, supply chain untuk komoditas cabai turut menyumbang kenaikan harga cabai. Pasalnya, masih banyak hambatan-hambatan di daerah sentra produksi cabai seperti terbatasnya transportasi dan sistem penanganan pascapanen yang belum optimal.
“Penanganan pascapanen cabai saat ini belum bisa meminimalisir kehilangan hasil yang masih sangat tinggi. Dari sini kemudian penjual itu menaikkan harga cabai karena penyusutannya sangat tinggi,” tambah Dr Feryanto.
Melihat fenomena ini, ia menyarankan supaya Kementerian Pertanian dapat berkolaborasi dengan petani di daerah sentra dalam menetapkan kalender tanam cabai. Upaya ini dimaksudkan supaya petani tidak menanam secara serentak sehingga produksi cabai dapat stabil. Kalender tanam yang dimaksud dibuat sesuai dengan daerah sentra produksi cabai.
“Jangan sampai daerah-daerah sentra itu menanam serentak, kalau sampai menanam serentak, dapat dipastikan harganya akan jatuh,” tambahnya.
Ia juga menyarankan supaya Kementerian Pertanian dapat bekerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam memetakan cuaca dalam beberapa waktu ke depan. Kolaborasi ini dimaksudkan untuk mengurangi gagal panen akibat cuaca yang buruk.
Di samping itu, Dr Feryanto juga menekankan tentang pentingnya manajemen pascapanen yang baik. “Ada yang mengusulkan sistem resi gudang, tetapi sistem ini juga kurang cocok dengan komoditas cabai karena cabai ini tidak tahan lama. Kalau cool storage, perlu investasi yang besar,” tambahnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu disiasati dengan menyimpan cabai kering supaya lebih tahan lama. Sementara, konsumsi cabai segar oleh rumah tangga mencapai 60 persen sedangkan kebutuhan industri hanya 40 persen dan kebutuhan industri ini dapat disiasati dengan cabai kering.
Terkait supply chain, Dr Feryanto juga menyarankan supaya dilakukan manajemen yang lebih baik mulai dari penyimpanan, transportasi maupun pengolahannya. Tidak hanya itu, ia juga menyarankan supaya ada insentif bagi petani yang menanam cabai. Hal ini karena modal untuk menanam cabai juga lumayan mahal. Dengan upaya ini diharapkan produksi cabai dapat terjaga dan tidak ada defisit.