Mewujudkan Ekosistem Reka Cipta Yang Berkelanjutan
Jakarta – “Saatnya kita menumbuhkan optimisme dengan cara mendorong karya reka cipta untuk tidak berhenti pada tahap publikasi, melainkan harus dapat dihilirisasi,” ucap Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI, Nizam, saat menjadi pembicara kunci pada webinar internasional yang diselenggarakan oleh Tim Kerja Akselerasi Reka Cipta Ditjen Dikti, Sabtu (12/9).
Webinar internasional ini bertajuk “Menggagas Keberlanjutan Ekosistem Reka Cipta di Indonesia dengan Semangat Kampus Merdeka”. Kegiatan ini dihadiri lebih dari 300 peserta yang terdiri atas kalangan akademisi, peneliti, dan mahasiswa.
Pada kesempatan tersebut turut hadir para narasumber profesor di bidang Sustainability and Supply Chain Management Coventry University Inggris Benny Tjahjono, Associate Professor di Departemen Psikologi Tsinghua University China Stella Christie, Associate Professor Mining and Materials Engineering Departement McGill University Kanada Agus Pulung Sasmito, Associate Professor dan Director of The University Center of Excellence for Advance Intellegent Communications (AICOMS) Universitas Telkom Khoirul Anwar. Bertindak sebagai moderator adalah Koordinator Tim Kerja Akselerasi Reka Cipta Ditjen Dikti Achmad Aditya.
Nizam menyampaikan bahwa era revolusi industri 4.0 menjadi era persaingan dan tantangan secara global. Di era tersebut akan lahir lebih dari 7 juta lapangan pekerjaan baru. Oleh karena itu, cara terbaik untuk memajukan hari esok adalah dengan kompetensi dan kreativitas yang dibangun bersama sama.
“Dengan begitu maka kemajuan Indonesia melalui sumber daya manusia unggul dapat terwujud melalui ekosistem reka cipta,” ucapnya.
Pada kesempatan tersebut Stella menjelaskan bahwa implementasi ekosistem reka cipta yang sangat berhasil adalah Sillicon Valley Amerika Serikat dan Zhongguancun China. Keduanya terbentuk karena adanya perguruan tinggi kelas dunia yakni Stanford University dan Tsinghua University.
“Perguruan tinggi bermutu menjadi syarat ekosistem reka cipta, karena memberikan ruang bagi para ilmuwan untuk mencapai critical mass dalam berinovasi”, ungkap Stella. Misalnya saja Tsinghua University yang mengalami pertumbungan sangat cepat dalam menempati peringkat tinggi di World Class University karena adanya faktor investasi dari pemerintah. Research Spending mendorong pemerintah China mengalokasikan anggaran riset untuk sumber daya manusia, bukan untuk gedung, fasilitas, administrasi, dan lainnya.
“Ekosistem reka cipta dapat terwujud hanya jika pemerintah, industri dan perguruan tinggi sama besarnya,” jelasnya.
Selain itu, Benny juga menekankan upaya implementasi kampus merdeka tidak hanya berfokus pada satu objek mahasiswa saja, melainkan perlu melakukan expending terhadap para dosen. Kampus Merdeka menjadi langkah perubahan bagi sistem pendidikan nasional yang bertujuan mendorong proses pembelajaran di perguruan tinggi yang semakin otonom dan fleksibel. Kemudian, para dosen harus mampu berbagi visi yang sama, memimpin, serta memiliki berbagai pengalaman.
“Strategi expending kampus merdeka terhadap para dosen dapat dilakukan dengan menambah jumlah dosen doktoral, membuka kesempatan exchange atau internship, serta bekerja sama dengan NGO dan social enterprises lainnya,” ujarnya.
Selanjutnya Agus juga menjelaskan mengenai ekosistem reka cipta yang ada di McGill Univesity Kanada dapat tercipta dengan banyaknya peluang collaborative grants antara perguruan tinggi dan industri. Kebijakan IP (Intelectual Property) dapat dimiliki industri ataupun perguruan tinggi. Adapun strategi yang dilakukan adalah melalui insentif pemerintah kepada industri untuk penelitian berupa tax incentive, matching fund, serta membangun pusat jaringan bisnis.
Di sisi lain, dukungan universitas juga sangatlah penting dan dapat dilakukan dengan cara mentoring oleh profesor senior, membangun pusat riset, mengadakan event kolaborasi bersama industri, dan memberikan penganugerahan terhadap ilmuwan berprestasi.
“Beberapa project kolaborasi perguruan tinggi dan industri telah dilakukan, misalnya bersama CIM-UCSMRC untuk meneliti emisi metana dan diesel di tambang batu bara bawah tanah,”ujarnya.
Sementara itu, Khoirul menjelaskan bahwa ada gap yang bergitu besar jika membandingkan aktivitas penelitian di luar dan dalam negeri. Ada beberapa persoalan yang mendasar terhadap keberlangsungan ekosistem reka cipta didalam negeri sejauh ini. Pertama, level industri dalam negeri belum sebesar diluar, sehingga jarang sekali industri datang ke laboratorium para peneliti ataupun ilmuwan. Kedua, presentasi ke industri lebih memilih teknologi yang sudah ada di pasar saja. Ketiga, industri belum bisa memulai dari awal dan belum ada solusinya. Keempat, industri di Indonesia bukan manufaktur serta tidak akan complete internasional.
“Namun, dibalik itu masih ada good points yakni banyaknya mahasiswa Indonesia yang mampu diajak melakukan riset mendalam serta para delegasi Indonesia yang banyak bermanfaat untuk negara dan memiliki jejaring yang luas di luar negeri,” ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Nizam menyampaikan bahwa gagasan ekosistem merupakan solusi kemajuan sumber daya manusia yang unggul. Platform Kedai Reka akan menjadi wadah kolaborasi nyata perguruan tinggi dan industri di Indonesia. Para akademisi, profesional dan diaspora harus menjadi motor penggerak kehidupan melalui karya reka cipta.
“Dengan semangat panjat pinang, kita kibarkan merah putih menjulang tinggi di langit nusantara melalui reka cipta yang unggul dan bermanfaat serta membawa kemakmuran bagi masyarakat Indonesia,” pungkasnya.
(YH/DZI/FH/DH/NH)
Humas dan Tim Akselerasi Reka Cipta Ditjen Dikti
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan