close

Sesditjen Dikti: Akademisi dan Peneliti Harus Terlibat Aktif Penanganan Covid-19

Pandemik Covid-19 yang menimpa Indonesia masih mengalami peningkatan jumlah pasien positif dan korban meninggal dunia dari hari ke harinya. Keterlibatan aktif menjadi kunci pencegahan perluasan dan penanganan, salah satunya para peneliti dan akademisi melalui penelitian dan tindakan langsung di lapangan. Hal itu dinyatakan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Paristiyanti Nurwardani, dalam seminar dalam jaringan bersama para peneliti dan akademisi dari Inovation Center for Tropical Sciences (ICTS), Minggu (12/04/2020).
Menurutnya, kondisi genting Covid-19 ini menguji sejauh mana cita-cita penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia telah tercapai, yaitu menghasilkan sumber daya manusia yang berakhak mulia dan tanggap terhadap lingkungan.


“Kemendikbud sendiri, telah mempersiapkan 15.000 relawan kemanusiaan yang juga terdapat di dalamnya mahasiswa kesehatan, mereka akan terjun langsung ke lapangan. Bahkan sebenarnya masih banyak jumlah yang mendaftar, tetapi kami batasi” jelas Paris.
Selain itu, menurutnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem A. Makarim, telah mengupayakan pemindahan alokasi dana pendidikan untuk digunakan dalam penanganan Covid-19, yaitu sejumlah 405 Miliar yang telah didukung oleh Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat.


“Nantinya uang sejumlah itu akan digunakan untuk memberikan berbagai macam fasilitasi kepada relawan kesehatan yang berjumlah 15.000, membantu 16 Rumah Sakit Pendidikan dan 13 Fakultas Kedokteran untuk pencegahan dan penanganan, serta membantu penyediaan Alat Pelindung Diri (APD),” bubuhnya.
Paris memohon bantuan kepada para peneliti dan akademisi di ICTS untuk melakukan penelitian dan pengembangan sistem dan alat tes deteksi Covid-19 yang sangat dibutuhkan dalam penanganan. Ia juga mengajak bergotong royong untuk mencari prediksi-prediksi modeling puncak dan akhir dari Covid-19 di Indonesia, sehingga Indonesia dapat bangkit secara psikis dan ekonomi. “Selain itu, jika Covid-19 berlalu, tim ahli ICTS bagaimana kita bisa mengembalikan ekonomi Indonesia secepat-cepatnya,” pungkas Paris.


Seminar ini menghadirkan diaspora Indonesia di Amerika, yaitu Muhammad Arief Budiman, Ph.D, kini ia menjadi ahli genetika pada Orien Genetic, Amerika Serikat. Menurutnya, secara ukuran genetika, virus tersebut sangat kecil, yaitu 1:100.000 jika dibandingkan dengan sel manusia, atau perbandingannya 1m: 100 km. Selain itu, RNA di dalam virus itu sebenarnya akan hancur oleh keringat manusia, tetapi lapisan luarnya dapat melindungi RNA tersebut dengan sangat kuat.

Baca Juga :  Awardee IISMA 2024 Menembus Batas Pendidikan Internasional


Menurutnya, penelitian genetika virus memiliki peran penting dalam penanganan wabah. Dibandingkan dengan terjadinya wabah Pandemik tahun 1918, atau dikenal dengan Spanish Flu yang memakan korban meninggal sebanyak 50 juta orang dan jumlah pasien positif terjangkit sejumlah 500 juta orang, Covid-19 memiliki data gen virus yang lebih baik dan lebih cepat. Pasalnya, Spanish Flu tersebut baru diketahui detail genetikanya pada tahun 2005 oleh seorang peneliti yang menggali kuburan di Alaska.


“Similarity dengan SARS tinggi, informasi genom di bank data menunjukkan sharing informasi dan perkembangan teknologi, tinggal bagaimana kesiapan kita mengambil,” terang Arief saat menjelaskan bank data genom dari sampel virus di dunia. Sayangnya, menurntya belum ditemukan data di bank data tersebut sampel dari Indonesia. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi para peneliti dan laboran untuk turut berkontribusi pada data genom dunia agar penanganan dapat lebih cepat diselesaikan.


Berikutnya Arief membahas mengenai sistem dan alat pendetesi virus di dalam tubuh manusia. Menurutnya, tugas dari seorang peneliti untuk mengembangkan karakter tes yang akurat dalam sensitivity dan specificity. Kedua sifat itu menjadi kunci untuk diagnosa pasien.
Ia pun menjelaskan sistem rapid tes yang tengah dilakukan oleh pemerintah berbagai negara. Menurutnya, rapid test sangat dibutuhkan, tetapi harus memiliki tingkat akuritas yang tinggi, sehingga tidak terjadi kesalahan diagnosa yang membuat orang negatif dapat beraktivitas, padahal sebenarnya dia membawa virus di tubuhnya.


Ia menjelaskan bahwa rapid tes merupakan tes kualitatif yang berbasis pada interaksi antigen-antibody, dan setiap orang memiliki antibody affinities, jadi rapid test tidak mengakses virusnya secara langsung tetapi mengakses antibody pasien. Sehingga kita tidak mengukur virusnya secara langsung, tetapi tidak langsung.


Arief menyebutkan rapid test yang akurat dapat membantu di tahap awal yang masif, tetapi sebaiknya dilanjutkan dengan tes RT PCR yang turut dikembangkannya. Ia pun memberikan beberapa pesan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia.
“Di awal memakai rapid test, secara parallel diuji dengan RT PCR untuk memastikan concordant ratio, atau akurasi dan menguji specificity dan sensitivity. Kemudian setiap kecamatan/kelurahan disampling dengan cara tim kesehatan yang mendatangi untuk pengambilan sampel, sehingga penyebaran terdeteksi dengan baik dan aman bagi orang lain,” jelasnya.

Baca Juga :  ITS Bareng Unair Kembangkan Perangkat Audiometri Portable untuk RSUD dr Soetomo


Ia pun melanjutkan tahapan berikutnya ialah menguji orang-orang yang ter-exposed pasa pasien Covid-19. Kuncinya ialah perlu kerja sama untuk meningkatkan kemampuan dalam mengolah sampel dalam jumlah banyak, mulai dari isolasi RNA, sampai uji di Lab atau POC dengan tracking yang akurat.


Narasumber lain dalam seminar ini ialah Ketua Bulan Sabit Merah Indonesia Bogor, yang juga menjadi gugus tugas Covid-19 dari Kementerian Pertanian, Dr. Ferry Haki. Ia menjelaskan lewat jargonnya bahwa dalam menghadapi Covid-19, masyarakat jangan abai, tetapi juga jangan lebay. Covid-19 ini bukan merupakan wabah yang pertama terjadi di dunia, juga Indonesia. Sebelumnya manusia telah berhasil menanganinya, karenanya optimisme harus tetap ada.
Hingga saat ini, menurut Ferry, belum ada obat atau vaksin untuk menangani Covid-19, tetapi masyarakat dapat mencegahnya dengan tindakan-tindakan suportif terhadap imun tubuh. “Terapi paling penting adalah suportif seperti oksigen, cairan dan elektrolit, nutrisi, dan antibiotik. Sementara pada pasien yang berat dan gagal napas perlu dirawat di ICU untuk mendapat bantuan ventilator mekanik,” jelasnya.
Bagi masyarakat umum, penting untuk mengetahui gejala-gejala awal untuk mengetahui apakah tubuh kita terpapar Covid-19 atau tidak. “Paling gampang dilakukan ialah dengan melakukan pemeriksaan dan pemantauan melalui gejala klinis sebagai dampak awal, gejala demam itu menyeluruh (100%), batuk (50%), serta gejala lain yang hampir menyerupai serupa flu-flu biasa saja. Nanti harus diselenggarakan pemeriksaan thorax secara rutin,” ungkapnya.


Hal yang ditekankan oleh Ferry ialah terdapatnya status baru dari Kementerian Kesehatan, yaitu Orang Tanpa Gejala (OTG). Orang ini bisa saja tidak mendapatkan gejala seperti tenggorokan kering dan sakit, demam tinggi, dan lainnya, tetapi telah berkontak langsung dengan pasien positif Covid-19. Karena tanpa gejala, ia tidak sadar beraktivitas, padahal sebenarnya OTG harus tetap diwaspadai. “OTG dilakukan karantina mandiri tetapi harus melakukan pemeriksaan specimen, serta puskemsa melakukan pemantauan dengan menggunakan form pemantauan,” jelasnya.
Setelah pemaparan dari para narasumber, diskusi pun berlanjut mengenai alat tes Covid-19, penanganan, hingga masalah budaya kesehatan di Indonesia. (YH/MFR)