close

Mimpi Aini Jadi Nyata, Kuliah di Luar Negeri Berkat IISMA

Alifya Aini Fauziah merupakan lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) yang berhasil merealisasikan mimpinya berkuliah di luar negeri melalui IISMA (Indonesian International Student Mobility Awards). Aini, sapaan akrabnya telah menaruh perhatian besar pada program yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak diluncurkan pada tahun 2021. IISMA menjadi kesempatan besar bagi dirinya untuk merealisasikan mimpi masa remaja yang terinspirasi dari orang tuanya untuk menimba ilmu di negeri seberang.

“Dari SMA aku udah pengen banget ikut pertukaran biar bisa ke luar negeri karena usaha sendiri. Kebetulan kedua orang tua aku kuliah S-2 di Australia dan New Zealand. Jadi aku termotivasi, kayak oh, mereka bisa nih kuliah di luar negeri dan aku jadi mau ke luar negeri dengan usaha sendiri. Nah ternyata IISMA ada tuh di 2021, aku seneng banget! Karena dari pemerintah juga kan dan syaratnya masih oke lah,” ungkap Aini.

Perjalanan Aini mendapatkan beasiswa IISMA bisa dibilang cukup menantang. Pada tahun ia mendaftarkan diri, belum ada mentoring-mentoring persiapan IISMA yang tersedia seperti saat ini karena saat itu IISMA baru memasuki tahun kedua. Ia melakukan semua proses pendaftarannya sendiri dan memulai pembuatan esai dengan meminta bantuan dosennya yang memiliki pengalaman daftar beasiswa. Demi menghasilkan esai terbaik, Aini bahkan berkonsultasi dengan dosennya pada tengah malam untuk mereview esai yang telah ia buat. Sayangnya, esai Aini harus mengalami perombakan total.

Di tengah penulisan ulang esai, Aini juga pun sambil menjalankan tanggung jawabnya yang lain yaitu menjadi mentor program English Camp atau program mentoring yang ditujukan untuk para pendaftar IISMA saat itu. Walaupun ia merasa tidak terkendala dalam membagi waktu, Aini mengaku menjadi mentor program tersebut menjadi tantangan lain serta konflik internal yang harus ia alami ketika persiapan.

“Jadi di saat bersamaan nulis esai aku juga ngajar bahasa Inggris ke mahasiswa yang daftar IISMA. Jadi aku lebih ke konflik internal. Aku merasa kalo aku nggak keterima IISMA tapi ngajar bahasa Inggris gimana ya? kan jadi pressure ya. Aku juga minta mentor di English Camp itu untuk review esai aku. Jadi di saat bersamaan aku jadi mentor dan dimentori oleh mentor di sana juga,” kisah Aini.

Berbeda dengan kebanyakan orang lainnya yang memilih kampus-kampus di negara berbahasa Inggris, alumni Sastra Inggris ini lebih memilih negara-negara yang tidak berbahasa Inggris. Pasalnya ia ingin menantang dirinya sendiri di negara yang baru sekaligus mempelajari bahasa yang belum ia kuasai. Alasan ini mengantarkan Aini untuk memilih Hanyang University sebagai pilihan pertama dan National Taiwan University of Science and Technology (NTUST) sebagai host university pilihan keduanya.

Setelah melalui berbagai tahapan mulai dari seleksi pemberkasan hingga interview, Aini berhasil lolos di pilihan pertamanya yang juga menjadi kampus dengan peminat IISMA terbanyak pada tahun itu yaitu, Hanyang University di Korea Selatan.

Baca Juga :  FIB UI Kembangkan Metode Pembelajaran Daring Cultural Literacy for Digital Society

Sejalan dengan salah satu tujuan program IISMA yang mendorong para mahasiswa untuk mengambil mata kuliah yang lintas disiplin, Aini juga memutuskan untuk mengambil tiga mata kuliah yang tidak berkaitan dengan Sastra Inggris, yaitu Jurnalistik, Budaya Populer, dan Globalization Ethic and International Development. Ketiga mata kuliah ini didasarkan pada pengalaman, ketertarikan, hingga rasa keingintahuannya untuk mengasah kemampuan menulis yang ia miliki, mempelajari keadaan serta globalisasi dunia, hingga budaya yang terdapat di negara Korea dan perkembangan Korean Wave di belahan dunia lainnya.

Dalam konteks akademik atau kegiatan belajar di negara ginseng tersebut, Aini mengatakan bahwa ia tidak mengalami kesulitan beradaptasi karena tidak jauh beda dengan kelas di jurusan Sastra Inggris yang ia anggap sudah berstandar internasional. Demikian pula dengan tugas hingga ujian yang ia dapatkan di Hanyang University, tidak jauh beda dengan yang ia biasa dapatkan saat di Unpad, seperti tugas dalam bentuk esai, presentasi grup, hingga penulisan berita atau artikel.

Meskipun secara akademik terlihat cukup lancar, ia sempat mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-harinya, terutama dalam penggunaan bahasa Korea yang ternyata menjadi culture shock pertama ketika ia menginjakkan kaki di Korea Selatan.

“‘Ternyata culture shock pertama aku adalah bahasa karena semuanya pakai (bahasa) Korea. Rasanya seperti semua orang ngomong dengan bahasa yang kamu nggak paham penuh. Terus mungkin karena ekspektasi aku adalah bisa ngomong sedikit karena keseringan nonton drakor di mana aku sambil baca subtitle, ya ternyata pas di sana kan nggak ada subtitle jadi bingung,” ujar Aini.

Perlahan-lahan Aini pun menyadari bahwa pada akhirnya ia harus belajar sambil terus berlatih. Meski di awal dirinya benar-benar terkendala bahasa, namun di bulan-bulan berikutnya ia mulai bisa belajar memahami dan berbicara dalam bahasa Korea hingga membuatnya tidak stres lagi.

Berada di negara yang minoritas muslim juga membuat Aini harus dapat bertahan mencari tempat ibadah seperti salat di gedung kosong, bawah tangga, parkiran, ataupun tempat terbuka yang ada. Pengalaman ini mengajarkan dia untuk melihat dirinya dari perspektif yang berbeda. Kondisi ini juga menumbuhkan rasa syukur mengingat kemudahan yang ia miliki ketika berada di Indonesia. Meskipun ia sempat merasa khawatir ketika berjalan-jalan sebagai perempuan berhijab, ia menemukan bahwa stereotipe yang memandang orang Korea sebagai orang yang cuekdan individualis ternyata merupakan anggapan yang salah. Ia merasa bersyukur mendapatkan pengalaman-pengalaman yang positif dengan orang lokal dimana ia merasa sangat disambut dan diperlakukan dengan baik.

Baca Juga :  Undana Bakal Minta Kebijakan LTMPT, Terkait Sesi Tambahan UTBK

Terlepas dari tantangan yang dihadapi, pengalaman-pengalaman tersebut telah membentuk Aini menjadi seseorang yang lebih berani dalam mengambil kesempatan yang ada. Perubahan ini berangkat dari pengalamannya ketika ia langsung mendaftarkan diri sebagai relawanfestival budaya dan acara dari KBRI. Padahal, sebelumnya ia harus bertanya keterlibatan teman-temannya yang lain terlebih dahulu untuk memastikan ia tidak sendirian. Selain itu, Aini juga merasa menjadi lebih percaya diri dan lebih aktif ketika berada di kelas.

“Aku tuh sebelum berangkat IISMA males banget ngomong di kelas. Kalau ada dosen yang nanya, pasti aku menghindar untuk jawab. Sampai akhirnya pas IISMA dengan pengalaman pertama aku kelas offline juga, aku merasa mau bagaimanapun kita menjawabnya, dosen akan tetap mengapresiasi. Jadi sejak IISMA, aku merasa udah mulai hilang khawatir dan dapat kepercayaan diri. Akhirnya pas balik Indonesia, aku mulai menerapkan hal yang sama,” ujar Aini.

Sepulang dari IISMA, awardee IISMA Hanyang 2022 ini terpilih menjadi Duta Kampus Merdeka 2023. Selain membagikan pengalamannya dalam mengikuti program IISMA, melalui kesempatan ini ia juga memperoleh kesempatan untuk bertemu dan berkenalan dengan mahasiswa alumni program Kampus Merdeka lainnya dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda. Kini, Aini melanjutkan jenjang kariernya sebagai penerjemah di salah satu perusahaan.

Untuk menjadi awardee IISMA dan berhasil belajar ke luar negeri, Aini telah melewati hingga 6 kali kegagalan. Salah satu hal yang membuat ia untuk terus maju dan mencoba adalah dengan meyakini bahwa takdir Allah adalah yang terbaik. Hal ini kemudian menjadi pesan dari Aini untuk para pejuang beasiswa ataupun pejuang mimpi lainnya.

Keep trying and do your best karena aku pun harus ditolak 6 kali saat daftar beasiswa untuk program pertukaran sejak SMA sampai akhirnya berhasil lolos di IISMA. Itupun aku juga banyak merasa khawatir dengan kemampuanku, nilai EPT-ku, hingga membandingkan diri dengan orang lain. I was worried but then I kept trying. I didn’t back down hingga akhirnya berhasil lolos di pilihan pertama aku yaitu, Hanyang. jadi, keep trying and do your best because there is one factor that we can’t control, and that is God’s plan. Kalau memang sudah rezekinya, pasti akan diterima,” pesan Aini. Lalu dari segi persiapan, ia juga menyarankan untuk para pemburu beasiswa agar dapat juga menguatkan esai mereka. Aini menambahkan, “I think if you’re worried about your English scores or experience, you can focus more on your essay. I will always suggest an essay and you need to be proud of your essay then they will see  who you are as a person.”

Penulis:
Aisha Devasha Nurdin – Mahasiswa Magang MSIB Ditjen Dikti, Batch 7