close

Mengelana tuk Menimba Ilmu di Negeri Gajah Putih

Pembelajar seumur hidup merupakan salah satu prinsip yang saya pegang. Saya menganggap bahwa wawasan, ilmu, dan pengalaman adalah guru yang paling berjasa. Seperti perkataan Imam Syafi’i “Jika kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus menahan perihnya kebodohan”. Begitulah prinsip yang selalu ada di benak pikiran saya. Ketika kesempatan menimba ilmu itu menghampiri, saya tak segan mengambilnya karena kesempatan belum tentu datang dua kali.

FK UNAIR sejak beberapa tahun yang lalu sedang menjalankan misinya menjadi “World Class Faculty of Medicine” dengan meningkatkan kualitas dalam segi akademik dan non akademik. Salah satu kegiatannya yaitu melakukan outbond dalam bentuk program pertukaran pelajar (exchange) untuk memberi kesempatan mahasiswa menuntut ilmu dan menjalin relasi kepada universitas yang bersangkutan. Setiap tahun saya juga mendengar cerita dari kakak tingkat, beberapa dari mereka melakukan exchange ke luar negeri lalu kembali ke Indonesia membawa segudang ilmu dan pengalaman. Oleh karena itu, ketika saya menjadi mahasiswa, kegiatan exchange ke luar negeri menjadi salah satu kenginan yang ingin digapai. Ketika menjadi mahasiswa tahun ketiga, saya termotivasi untuk mengumpulkan bekal pengalaman yang mungkin bisa bermanfaat di masa depan. Oleh karena itu, saya bertekad akan merealisasikan keinginan mengikuti exchange di semester ini.

Dengan beberapa riset dan pertimbangan program exchange apa yang sesuai, saya mendaftarkan diri dengan menyiapkan syarat-syarat yang dibutuhkan seperti motivation letter, sertifikat TOEFL, CV, paspor, dan sebagainya. Saat itulah saya sadar bahwa kita tidak bisa selalu berada di zona nyaman. Dengan beberapa usaha menyiapkan berkas dan syarat ketentuan lainnya, akhirnya saya berhasil submit dan merasa sedikit lega atas usaha yang saya anggap keluar dari zona nyaman ini. Setelah menunggu beberapa hari, saya mendapat pengumuman via email yang mengabarkan bahwa beberapa mahasiswa terpilih untuk melakukan research exchange di Mahidol University, Thailand, termasuk saya. Alhamdulillah, saya bersyukur dan merasa excited berpartisipasi dalam kegiatan ini. Saya sengaja memilih program research exchange ini untuk menambah wawasan terkait penelitian di laboratorium.

Biasanya, di ranah kedokteran, terbagi dua bidang, yaitu klinik dan penelitian (research). Selama saya kuliah, kebanyakan mempelajari materi klinik yang ilmunya akan digunakan saat nanti menjadi dokter di klinik/RS. Ternyata, dari sudut pandang yang lain terdapat bidang lain yang bisa digeluti dalam kedokteran yaitu penelitian. Seorang clinician maupun researcher, keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Clinician akan praktik langsung menghadapi pasien, sedangkan researcher melakukan penelitian tentang topik tertentu yang dapat menciptakan improvisasi atau inovasi baru dari hasil penelitiannya.

Mahidol University menempati ranking ke-44 di Asia dan ke-252 menurut QS World Ranking University. Mahidol University juga memiliki beberapa lokasi kampus di Thailand dengan berbagai fakultas yang tersebar. Program exchange ini dilakukan di Institute of Molecular Biosciences, Mahidol University di Salaya, Bangkok. Kampus di Salaya adalah yang terbesar dari beberapa kampus milik Mahidol University. Kampus ini juga terkenal dengan statusnya sebagai “clean university” karena sangat bersih, ramah lingkungan, dan sangat tertata rapi setiap sudut kampusnya. Institute of Molecular Biosciences di kampus ini menyediakan fasilitas yang lengkap. Berbagai peralatan laboratorium tersedia untuk mendukung mahasiswa master dan doktoral dalam melakukan studi dan penelitiannya. Sebagai mahasiswa S1 yang diberi kesempatan menuntut ilmu di sana, saya sangat kagum dan bangga.

Baca Juga :  Ilmu Pengetahuan adalah Pelita dan Cahaya Kehidupan #CERITABAIKDARINUSANTARA

Tiga minggu menuntut ilmu di Institute of Molecular Biosciences adalah pengalaman yang menyenangkan sekaligus membanggakan. Di pekan pertama, saya dan dua belas teman-teman lainnya diajarkan hal yang paling dasar dalam laboratorium seperti bagaimana mentaati peraturan di laboratorium demi keamanan diri dan orang lain, cara menggunakan pipet dan mikropipet, melakukan PCR, membuat gel elektroforesis, dan sebagainya. Namun, sebelum praktik di laboratorium, beberapa profesor memberikan kuliah dahulu tentang langkah yang akan dikerjakan. Ternyata banyak sekali hal baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan sehingga saya selalu semangat dan antusias mengikuti kegiatan di lab. Dalam satu minggu itu, kami bertiga belas mempelajari dan mempraktikkan 3 materi berbeda, yaitu yeast genome engineering dan transformasi yeast, menganalisis DNA alpha talasemia, serta menentukan titer virus yang inaktif. Bahkan, kami juga diajarkan cara menggunakan mikroskop fluorescence. Di saat itulah pertama kali saya menggunakan dan mengobservasi preparat hasil transformasi yeast dengan mikroskop tersebut.

Di pekan kedua dan ketiga, kami bertiga belas dibagi ke enam departemen, antara lain parasit, virus, mikrobiologi, stem cell, vaksin, dan talasemia. Saya dan Izza, teman sekamar saya, mendapat kesempatan untuk belajar lebih dalam di departemen parasite, PRL (Parasite Research Laboratory). Di PRL, asisten peneliti dan mahasiswa doktoral memiliki projek membuat test-kit untuk menskrining hewan yang terinfeksi parasit. Kami dijelaskan bagaimana proses pembuatannya, tetapi tidak membuat produk test-kit hingga selesai karena butuh waktu berbulan-bulan dalam pembuatannya. Meski begitu, kami berhasil mengekstraksi DNA parasit dari darah sapi, menciptakan plasmid rekombinan dari DNA tersebut, lalu mentransformasikan plasmid rekombinan di dalam media kultur, selanjutnya mengekstraksi plasmid rekombinan tersebut dan terakhir menginkubasi produknya. Di lab ini, kita melakukan PCR dan elektroforesis berkali-kali sehingga step itulah yang paling berkesan ketika belajar di PRL.

Beberapa momen paling berkesan di Institute of Molecular Biosciences yaitu ketika para professor, supervisor, dan dosen-dosennya selalu mengapresiasi hal-hal kecil dan remeh yang mungkin mereka sudah mahir melakukannya. Setiap melakukan langkah yang diinstruksikan, kami dipuji dengan “good job”, “nice”, “well done”. Hal kecil ternyata berdampak besar bagi kami, membuat kami merasa diapresiasi dan betah di sini. Saya dan Izza juga mendapat teman sekaligus guru yang menemani kami selama di PRL, mereka adalah professor dengan puluhan publikasi, asisten peneliti, dan mahasiswa doktoral yang sedang melakukan penelitian. Beberapa di antara mereka adalah p’Mai dan p’Net, dua orang yang sangat membantu kami melakukan pekerjaan laboratorium yang tidak pernah kami ketahui sebelumnya. Bahkan mereka menyempatkan waktunya untuk kami di tengah kesibukan studi doktoralnya. Selain belajar di laboratorium, mereka mengajak kami ke kolam ikan di College of Music, Mahidol University, lalu berkeliling Mahidol dengan tram, dan hangout ke salah satu mall di Bangkok. Mereka menyambut kami dengan hangat sehingga kami merasa nyaman, tidak sedikitpun merasa terbebani dengan jadwal di laboratorium yang cukup padat.

Baca Juga :  Memeluk Kearifan Lokal, PMM3 ISI Padangpanjang Membuka Jendela Kebudayaan Nusantara di Kepulauan Mentawai


Tentunya, sebagai turis yang berkunjung ke negara lain, saya dan teman-teman mengambil kesempatan untuk berwisata di akhir pekan. Setiap Sabtu dan Minggu kami bersama-sama mengeksplor Bangkok. Mulai dari tempat wisata, makanan, dan transportasinya. Berhubung apartemen yang kami tinggali di Salaya jauh dari pusat Bangkok, kami menggunakan transportasi umum (bus) untuk pergi dan pulang. Selain menghemat biaya, kami juga mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang bisa menimbulkan makin banyak polusi udara. Tak jarang kami jalan menyusuri trotoar pejalan kaki meskipun cuaca di sana panas dan terik mirip dengan Surabaya. Di pusat Bangkok, kami mengunjungi temple, mall, pasar tradisional, dan beberapa tempat wisata lain untuk belanja, mengabadikan momen, serta bersuka-ria sebagai pendatang asing.

Sebagai muslim, saya merasakan beberapa kendala saat berkelana di negeri gajah ini karena tidak banyak masjid dan makanan halal pun terbatas. Bahkan saya mengalami momen yang tidak akan terlupakan. Ketika berkunjung ke mall besar yang sebenarnya terdapat ruang ibadah di sana, tetapi saat itu sedang dalam renovasi sehingga saya dan teman-teman bergantian sholat di fitting room. Di mall lainnya, ketika saya menanyakan dimana ruang ibadah, lalu seorang satpam malah mengantarkan kami ke ruangan “first aid” atau yang sering digunakan untuk ruangan pertolongan pertama/emergency. Akhirnya, saya sholat di ruangan itu beralaskan selimut kasur yang disediakan di atas bed-nya. Begitu juga dengan makanan halal, hanya sedikit kios yang menjual makanan halal kecuali di rumah makan yang memang memiliki sertifikasi halal atau di mall besar yang menyediakan beberapa opsi menu halal. Beberapa pelajaran dan pengalaman berharga itu tidak bisa dibeli dan mungkin akan terkenang seumur hidup.

Sebagai pemuda yang masih memiliki banyak waktu dan kesempatan, jangan pernah ragu mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Mengambil risiko dalam petualangan dan kegiatan yang menambah wawasan itu sangat dibutuhkan untuk bekal di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Apabila seseorang “stagnan, diam, dan tidak bergerak”, pelajaran apa yang dapat dipetik untuk berproses dalam kehidupannya. Selain itu, menggali potensi dan mengeksplor kemampuan diri dapat menjadi salah satu langkah pula dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Nah, sekarang saatnya giliran kamu bercerita, apa kisah pengalaman yang berharga dalam hidupmu?