close

Undana – Flinders Overseas Health Group Jalin Kerja Sama

KUPANG – Universitas Nus Cendana (Undana) dan Flinders Overseas Health Group Inc (FOHG) berkomitmen menjalin kerja sama bidang pendidikan, pengajaran dan pengabdian pada masyarakat (tridarma).

Hal ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepaham atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Rektor Undana, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc dan Ketua FOHG, Dr. Smathi Chong.  

Selanjutnya, penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) juga juga dilakukan oleh Dekan Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan (FKKH) Undana, Dr. dr. Christina Olly Lada, M.Gizi dengan Ketua FOHG, Dr. Smathi Chong. Penandatanganan MoU dan PKS tersebut dilakukan di Ruang Dekanat FKKH, Selasa (6/6/2023).

Turut menyaksikan penandatanganan MoU dan PKS tersebut Warek I Bidang Akademik, Prof. Dr. drh. Annytha I. R. Detha, M.Si, Warek II Bidang Umum dan Keuangan, Dr. Paul G. Tamelan, M.Si, Warek IV Bidang Perencanaan, Kerja Sama dan Sistim Informasi, Prof. Dr. Jefri S. Bale, ST., M.Eng, serta jajaran pimpinan FKKH Undana. Hadir pula anggota FOHG, yaitu Gill Marshman, Helen Bradley, dan Nus (Penerjemah).

Rektor Undana, Prof. Maxs Sanam dan Ketua FOHG, Dr. Smathi Chong menandatangani MoU disaksikan Warek IV Prof. Jefri Bale, dan dua anggota FOHG Gill Marshman dan Helen Bradley.

Dalam sambutannya, Dekan FKKH, Dr.dr. Christina mengatakan, FKKH Undana sebelumnya terdiri dari dua fakultas yakni Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Kedokteran Hewan. Penggabungan kedua fakultas menjadi satu, menurutnya sangat baik, karena mendukung konsep one health. Apalagi saat ini, kasus rabies Kembali mengemuka di NTT, khususnya Flores dan Pulau Timor.

Baca Juga :  Program IISMA Hadir pada Pameran Edukasi Uni Eropa (EHEF) 2022

Untuk itu, diperlukan kerja sama tersebut guna menyelesaikan persoalan tersebut. Dr. Christina juga menyampaikan bahwa kerja sama tersebut sangat baik, karena akan membuka kesempatan bagi para dosen untuk melakukan penelitian, pengajaran, seminar, maupun pengabdian bersama. Ia juga menyebut, penulisan artikel ilmiah dan publikasi bersama juga akan dilakukan kedua belah pihak.

Ketua FOHG, Dr.. Smathi Chong dalam sambutannya mengaku sangat antusias dengan penyambutan Undana, serta kerja sama yang dilakukan dengan Undana, khususnya dengan FKKH.

Dirinya menjelaskan bahwa organisasi yang dipimpinnya telah bekerja di NTT kurang lebih 20 tahun. Terkait dengan penggabungan dua fakultas, menurutnya, hal itu sangat penting, karena mendukung konsep one health. Kerja sama dengan Undana, katanya, adalah untuk meningkatkan pelayanan bidang kesehatan. “Terima kasih atas kerja sama ini. Semoga ke depan kita bisa berjaya,” harap Dr. Smathi.

Sementara itu, Rektor Undana, Prof. Maxs Sanam dalam sambutannya menyambut baik kehadiran FOHG untuk melakukan kerja sama. Rektor mengaku, dirinya pernah terlibat dalam kegiatan yang dilakukan FOHG ketika Undana masih dipimpin Rektor Prof. Frans Umbu Datta, karena saat itu dirinya menjadi Kepala Kantor Hubungan Internasional Undana.

Baca Juga :  Kampus Merdeka, Solusi Melahirkan Generasi Berkualitas Berbasis IPTEK
Dekan FKKH, Dr. dr. Christina Olly Lada dan Ketua FOHG, Dr. Smathi Chong menandatangani PKS disaksikan Rektor Undana, Prof. Maxs Sanam.

Dengan penandatanganan MoU dan PKS tersebut, ia barharap agar Undana semakin produktif dalam memberi dampak positif bagi masyarakat NTT. “Jadi implementasinya jauh lebih penting. Kita punya dokter tapi kalua tidak beri dampak maka kita tidak tidak berbuat apa-apa,” imbuhnya.

Dengan kerja sama tersebut, ke depan Undana dan FOHG bisa melakukan penelitian, pengajaran, pelatihan, maupun pengabdian bersama. Selain itu, pembuatan artikel dan publikasi ilmiah juga akan dilakukan kedua belah pihak.

Ia juga sangat mendukung konsep one health. Sebab dengan keterlibatan sejumlah akademisi dan pakar dunia kesehatan hewan, manusia bahkan dalam bidang sosial, maka bisa menyelesaikan sejumlah penyakit, terutama yang saat ini kembali merebak, yaitu penyakit Rabies. Dalam waktu dekat, penyelesaian penyakit tersebut akan melibatkan sejumlah pihak, sehingga penanganannya akan berbeda ketika terjadi tahun 1997 di Flores. (rfl)